Hasil Nilai Ujian | ||||
No | Mata Pelajaran | Nilai Sekolah | Nilai Ujian Nasional | Nilai Akhir |
1 | Bahasa Indonesia | 8,36 | 6,8 | 7,4 |
2 | Bahasa Inggris | 8,36 | 8,4 | 8,4 |
3 | Matematika | 8,6 | 9 | 8,8 |
4 | Kompetensi keahlian | 8,64 | 8,79 | 8,7 |
Jumlah | 33,96 | 32,99 | 33,3 | |
Rata-rata | 8,3 |
Senin, 20 Juni 2011
Minggu, 19 Juni 2011
Sabtu, 18 Juni 2011
saksi hantu
"Teteskan darah kalian masing-masing ke dalam botol dan oleskan sebagian pada kertas putih kecil yang digulung dan dimasukkan ke dalam botol yang sama sebelum kalian sumbat erat dan kalian lempar ke laut lepas ..."
Kata-kata itu terus terngiang di telinga ketiga sahabat yang sedang berkumpul di sebuah warung setempat, tempat mereka biasa bertemu dan menghabiskan waktu setelah mereka satu per satu kehilangan pekerjaan beberapa waktu sebelumnya. Keadaan ekonomi sedang sulit waktu itu. Banyak perusahaan jatuh bangkrut dan terpaksa merumahkan ratusan bahkan ribuan karyawannya, termasuk Bjong, Vikram, dan Chui.
"Bagaimana pendapat kalian? Apakah kita sebaiknya mengikuti apa yang dikatakan wanita itu?" Bjong bertanya sambil mengepul-ngepulkan asap rokoknya.
"Entahlah. Aku sendiri masih ragu-ragu." Vikram menjawab pelan.
Chui yang selama ini hanya diam mendengarkan, ikut menimpali dan berkata,
"Tapi menurutku, tak ada salahnya jika kita mencoba melakukan hal itu. Tak akan ada ruginya, bukan?"
Bjong mengangguk-anggukkan kepalanya. Asap putih mengepul dari rokoknya yang sudah tinggal setengah. Kemudian ia menepuk punggung Chui.
"Baiklah. Kita akan melakukannya malam ini juga."
Chui tersenyum lega. Sementara itu Vikram tidak mengatakan apa-apa. Ia sebetulnya tidak begitu menyetujui usul temannya itu untuk mencari kekayaan dengan cara mistis. Tapi tak enak rasanya jika ia menentang dan menghalangi mereka. Selama ini mereka bertiga selalu bersama, baik dalam suka maupun duka. Dan malam ini, sekali lagi ia akan menjadi bagian dalam kebersamaan mereka.
****
Pagi itu warung ‘Furao’ terlihat ramai tak seperti biasanya. Para pelayan lalu lalang mengantarkan pesanan para tamu. Bjong dan kedua sobat kentalnya terlihat sedang bersantai sambil meminum kopi dan membaca koran di sudut ruangan. Hampir setiap hari mereka berkumpul-kumpul seperti ini semenjak perusahaan tempat mereka bekerja satu per satu jatuh bangkrut dan tak punya pilihan lain selain menutup usaha mereka.
Dahulu Bjong adalah seorang karyawan di suatu pabrik makanan instan milik Singh, temannya satu sekolah dulu. Dia sudah mulai bekerja di situ sejak perusahaan temannya tersebut masih belum berkembang dan Singh masih ke mana mana dengan sepeda tuanya.
Lama-kelamaan usaha Singh mulai berkembang, dan dia mulai sibuk mengembangkan usahanya yang tersebar hampir di seluruh penjuru Bangkok dan Phuket. Sepeda tua yang dulu ditungganginya pun sudah lama ditinggalkannya. Kini mobil keluaran terbaru selalu siap mengantarnya ke manapun ia pergi.
Sementara itu, keadaan Bjong masih sama seperti dahulu. Pergi ke tempat kerja milik temannya itu naik sepeda biru tua yang catnya sudah terkelupas di sana sini. Keadaan majikannya semakin lama semakin membaik dan makmur. Sementara Bjong sebagai bawahannya sudah harus bersyukur dengan gaji yang diterimanya setiap bulan yang hanya mencukupi untuk membiayai seorang istri dan ketiga orang anaknya yang masih kecil-kecil.
Ketika keadaan perekonomian memburuk dan perusahaan Singh harus ditutup, Bjong hanya menerima sedikit sekali uang pesangon dari majikannya itu. Singh beralasan bahwa keadaan sangat buruk dan dia tidak mempunyai uang lebih untuk membayar Bjong, ataupun karyawan-karyawan lainnya. Bahkan ia pun terpaksa menjual beberapa perusahaannya untuk membayar hutang-hutangnya yang menumpuk.
Tapi seburuk-buruknya keadaan waktu itu, Bjong melihat bahwa Singh masih bisa makan di restoran mewah bersama keluarganya dan masih terlihat mengendarai mobil-mobilnya yang mewah. Bjong hanya bisa menghela napas sambil menggerutu mengingat keadaan waktu itu. Semiskin-miskinnya orang kaya, mereka masih dapat hidup mewah dan hidup enak!
“Gimana nih, sudah ketemu pekerjaan yang kau suka?” katanya sambil melirik Vikram yang duduk di sebelahnya sambil menyeruput kopinya yang mulai dingin.
Vikram membolak-balik halaman koran yang sedang dibacanya. Ia sedang mencari pekerjaan baru yang sekiranya cocok dengan dirinya. Sesekali ia terlihat antusias. Tetapi beberapa saat kemudian ia mendesah kecewa.
"Susah amat! Ada beberapa pekerjaan yang sepertinya cocok dengan latar belakang pendidikanku, tapi mereka tak menerima orang-orang uzur seperti kita," keluhnya. "Mereka seharusnya lebih memprioritaskan orang berpengalaman seperti kita-kita ini."
"Kau seperti tak mengerti saja. Perusahaan kan lebih suka menggaji anak-anak muda yang baru lulus dan belum berpengalaman, karena mereka bersedia digaji rendah," Bjong berujar.
Chui mengangguk mengiyakan. "Betul katamu itu. Kalau begitu, bagaimana caranya kita mendapatkan uang untuk menghidupi keluarga kita jika kita tak memperoleh pekerjaan lagi?"
Semua terdiam. Mereka tahu bahwa mencari pekerjaan baru jauh lebih sulit daripada mempertahankan pekerjaan yang sudah ada. Itu pun tak dapat mereka lakukan ketika mereka kehilangan pekerjaan mereka beberapa waktu yang lalu. Mereka hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja tak sanggup lagi menggaji mereka dan mereka harus puas menerima pesangon yang tak seberapa.
Sekonyong-konyong keheningan mereka dipecahkan oleh suara seorang wanita yang datang dari arah belakang Bjong yang sedang duduk membelakangi jalan. Wanita yang sudah berumur namun masih terlihat cantik dan modis itu datang menghampiri mereka.
"Aku dapat memberitahu kalian bagaimana caranya menjadi kaya dengan mudah."
***
Ombak bergulung-gulung berdebur memecah pantai. Suaranya yang gemuruh diiringi jerit pekik burung-burung laut, menambah kesan misterius malam yang dingin itu.
Bjong, Vikram, dan Chui baru saja tiba di pantai berbatu itu. Tempat tersebut jarang dikunjungi orang, bukan saja karena tempat itu sangat terpencil, tapi juga karena ombaknya yang besar dan ganas membuat takut orang-orang yang ingin berenang di situ.
"Sepertinya inilah saatnya," Chui berkata sambil melirik arloji murah yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu tepat menunjukkan pukul dua belas malam.
Bjong mengeluarkan silet dari saku kemejanya dan ia membuat sayatan kecil pada ujung jari manisnya. Darah segar mulai menetes ke dalam botol kecil yang dipegang Vikram. Setelah dirasanya cukup, ia mengoleskan sedikit darahnya pada kertas kecil yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Chui dan Vikram melakukan hal yang sama. Mereka bergiliran menyayat sedikit ujung jari manis mereka dan membiarkan darah segar menetes ke dalam botol dan mengoleskan sedikit ke atas kertas.
Setelah semuanya selesai, Bjong memasukkan kertas yang sudah ternoda darah ke dalam botol yang berisi campuran darah ketiga orang itu. Ia kemudian menyumbat erat botol kecil itu dan berjalan menghampiri laut. Sementara kedua temannya menunggu di pantai.
Bjong berjalan semakin menjauhi daratan dan air pasang kini telah menggenangi pahanya. Tanpa ragu-ragu ia melemparkan botol itu jauh-jauh ke tengah laut.
***
Hari sudah menjelang pagi. Semburat sinar mentari menaburkan kilau keemasannya di permukaan laut yang terlihat tenang.
Bjong dan kedua temannya tampak masih terlelap. Gemerisik dedaunan dan ranting pohon di atas mereka perlahan memaksa Vikram membuka matanya, dan kemudian segera membangunkan Bjong dan Chui yang masih terhanyut dalam mimpi mereka masing-masing.
Beberapa menit kemudian mereka bertiga terlihat berjalan-jalan di tepi pantai. Mereka tampak seperti sedang mencari sesuatu. Setelah beberapa saat Chui berseru kegirangan memanggil kedua orang temannya.
"Aku menemukannya! Lihat, bukankah ini botol yang tadi malam kita lempar ke tengah laut? Kita telah menemukannya!"
Teman-temannya segera menghampirinya. Vikram mengambil botol tersebut dan melihatnya dengan seksama. "Ya, betul! Tapi tidak ada darah lagi di dalamnya, walaupun kertas itu masih ada. Botol ini tidak mungkin bocor karena kertas ini tampak masih kering."
Tiba-tiba perasaan aneh mulai menyelimuti dirinya.
Bjong tidak sabar lagi. Direbutnya botol itu dari tangan Vikram dan segera dibukanya sumbat botol tersebut. Teman-temannya menahan napas ketika Bjong mengeluarkan kertas dari dalam botol dan membuka gulungannya.
Tak ada lagi noda darah pada kertas itu. Kertas itu tampak putih bersih. Bjong menghampiri tepi laut dan ia membungkuk, membiarkan ombak laut menjilati kertas itu.
Beberapa saat kemudian hal yang paling mustahil terjadi di depan ketiga pasang mata para sahabat itu.
Pelan namun pasti, empat buah angka mulai terlihat di atas kertas yang semula putih bersih.
Lima ... empat ... satu ... enam.
Chui dan Bjong bersorak gembira. Mereka segera mencatat angka-angka tersebut, sementara Vikram hanya diam mematung. Semua hal itu membuat perasaannya tak enak.
***
Bjong dan Chui segera membuka halaman koran bagian tengah. Tampang mereka serius sekali. Kemudian mata mereka tertuju pada sebuah kolom kecil di pojok kanan atas.
Lima ... empat ... satu ... enam!
Mereka saling berpandangan. Senyum licik penuh kemenangan terukir di wajah mereka sebelum akhirnya mereka berteriak gembira dan saling berpelukan. Impian mereka selama ini untuk memperoleh kekayaan yang mereka inginkan kini tampak di depan mata. Mobil mewah… vila… jalan-jalan ke luar negeri…emas… berlian…
***
Orang-orang menutup hidung ketika polisi mengangkat jenasah salah satu putra Bjong yang hilang dari dalam air, sebelum kemudian memasukkannya ke dalam ambulans yang diparkir di tepi pantai. Wajahnya hampir tak bisa dikenali lagi. Tubuhnya membengkak dan tak utuh lagi dengan disertai luka di sana sini. Mungkin akibat dimakan binatang laut, setelah menghilang selama beberapa hari sebelumnya sewaktu berenang di perairan lepas bersama adiknya, yang sampai saat ini jasadnya masih belum ditemukan.
Beberapa hari kemudian, istrinya yang tak kuat mengalami penderitaan ini, ditemukan telah tewas tak bernyawa mengambang di permukaan sungai dengan kepala hancur hampir tak berbentuk dan tubuh memar di sana sini akibat benturan benda keras di sekitar sungai. Orang-orang sebelumnya melihat wanita malang ini berjalan mondar-mandir dengan pandangan hampa sesaat sebelum akhirnya memanjat ke atas pagar jembatan dan terjun bebas ke sungai sehingga kepalanya luka parah terbentur pagar pembatas. Perhiasan-perhiasan mahal masih melekat di tubuhnya ketika orang-orang menemukannya di sungai.
Bjong sangat terpukul dengan semua ini dan ia harus menghuni rumah sakit jiwa. Beberapa orang perawat kerap kali memergokinya sedang melempar-lemparkan botol kosong ke dalam bak air sambil berteriak dan tertawa-tawa.
Chui tersiram air panas sewaktu sedang memasak dan sekujur tubuhnya melepuh. Ia dirawat selama beberapa hari di rumah sakit setempat. Tapi lukanya yang parah telah menimbulkan infeksi dan berbagai penyakit komplikasi lainnya, sehingga ia tak dapat bertahan lagi dan menghembuskan napas yang terakhir.
Vikram yang tak sepenuhnya mengikuti permainan maut kedua temannya tak luput dari musibah. Secara tiba-tiba saja ia terpeleset sewaktu menyeberang di jalan raya. Sebuah mobil yang melintas tak bisa lagi menghindarinya dan menggilas kedua kakinya hingga hancur. Ia akhirnya selamat setelah seseorang melihat kecelakaan tersebut dan bergegas membawanya ke rumah sakit terdekat.
Tak seorang pun mengetahui mengapa ketiga sahabat ini mengalami musibah yang sangat mengerikan secara hampir bersamaan. Dan semua musibah yang menimpa mereka disebabkan oleh air, yang telah memberikan apa yang mereka inginkan, dan yang menuntut imbalan atas apa yang telah mereka peroleh.
Ke sanalah mereka telah mengantarkan darah mereka. Dan dari sana pulalah siulan kematian itu mengalun.
Kata-kata itu terus terngiang di telinga ketiga sahabat yang sedang berkumpul di sebuah warung setempat, tempat mereka biasa bertemu dan menghabiskan waktu setelah mereka satu per satu kehilangan pekerjaan beberapa waktu sebelumnya. Keadaan ekonomi sedang sulit waktu itu. Banyak perusahaan jatuh bangkrut dan terpaksa merumahkan ratusan bahkan ribuan karyawannya, termasuk Bjong, Vikram, dan Chui.
"Bagaimana pendapat kalian? Apakah kita sebaiknya mengikuti apa yang dikatakan wanita itu?" Bjong bertanya sambil mengepul-ngepulkan asap rokoknya.
"Entahlah. Aku sendiri masih ragu-ragu." Vikram menjawab pelan.
Chui yang selama ini hanya diam mendengarkan, ikut menimpali dan berkata,
"Tapi menurutku, tak ada salahnya jika kita mencoba melakukan hal itu. Tak akan ada ruginya, bukan?"
Bjong mengangguk-anggukkan kepalanya. Asap putih mengepul dari rokoknya yang sudah tinggal setengah. Kemudian ia menepuk punggung Chui.
"Baiklah. Kita akan melakukannya malam ini juga."
Chui tersenyum lega. Sementara itu Vikram tidak mengatakan apa-apa. Ia sebetulnya tidak begitu menyetujui usul temannya itu untuk mencari kekayaan dengan cara mistis. Tapi tak enak rasanya jika ia menentang dan menghalangi mereka. Selama ini mereka bertiga selalu bersama, baik dalam suka maupun duka. Dan malam ini, sekali lagi ia akan menjadi bagian dalam kebersamaan mereka.
****
Pagi itu warung ‘Furao’ terlihat ramai tak seperti biasanya. Para pelayan lalu lalang mengantarkan pesanan para tamu. Bjong dan kedua sobat kentalnya terlihat sedang bersantai sambil meminum kopi dan membaca koran di sudut ruangan. Hampir setiap hari mereka berkumpul-kumpul seperti ini semenjak perusahaan tempat mereka bekerja satu per satu jatuh bangkrut dan tak punya pilihan lain selain menutup usaha mereka.
Dahulu Bjong adalah seorang karyawan di suatu pabrik makanan instan milik Singh, temannya satu sekolah dulu. Dia sudah mulai bekerja di situ sejak perusahaan temannya tersebut masih belum berkembang dan Singh masih ke mana mana dengan sepeda tuanya.
Lama-kelamaan usaha Singh mulai berkembang, dan dia mulai sibuk mengembangkan usahanya yang tersebar hampir di seluruh penjuru Bangkok dan Phuket. Sepeda tua yang dulu ditungganginya pun sudah lama ditinggalkannya. Kini mobil keluaran terbaru selalu siap mengantarnya ke manapun ia pergi.
Sementara itu, keadaan Bjong masih sama seperti dahulu. Pergi ke tempat kerja milik temannya itu naik sepeda biru tua yang catnya sudah terkelupas di sana sini. Keadaan majikannya semakin lama semakin membaik dan makmur. Sementara Bjong sebagai bawahannya sudah harus bersyukur dengan gaji yang diterimanya setiap bulan yang hanya mencukupi untuk membiayai seorang istri dan ketiga orang anaknya yang masih kecil-kecil.
Ketika keadaan perekonomian memburuk dan perusahaan Singh harus ditutup, Bjong hanya menerima sedikit sekali uang pesangon dari majikannya itu. Singh beralasan bahwa keadaan sangat buruk dan dia tidak mempunyai uang lebih untuk membayar Bjong, ataupun karyawan-karyawan lainnya. Bahkan ia pun terpaksa menjual beberapa perusahaannya untuk membayar hutang-hutangnya yang menumpuk.
Tapi seburuk-buruknya keadaan waktu itu, Bjong melihat bahwa Singh masih bisa makan di restoran mewah bersama keluarganya dan masih terlihat mengendarai mobil-mobilnya yang mewah. Bjong hanya bisa menghela napas sambil menggerutu mengingat keadaan waktu itu. Semiskin-miskinnya orang kaya, mereka masih dapat hidup mewah dan hidup enak!
“Gimana nih, sudah ketemu pekerjaan yang kau suka?” katanya sambil melirik Vikram yang duduk di sebelahnya sambil menyeruput kopinya yang mulai dingin.
Vikram membolak-balik halaman koran yang sedang dibacanya. Ia sedang mencari pekerjaan baru yang sekiranya cocok dengan dirinya. Sesekali ia terlihat antusias. Tetapi beberapa saat kemudian ia mendesah kecewa.
"Susah amat! Ada beberapa pekerjaan yang sepertinya cocok dengan latar belakang pendidikanku, tapi mereka tak menerima orang-orang uzur seperti kita," keluhnya. "Mereka seharusnya lebih memprioritaskan orang berpengalaman seperti kita-kita ini."
"Kau seperti tak mengerti saja. Perusahaan kan lebih suka menggaji anak-anak muda yang baru lulus dan belum berpengalaman, karena mereka bersedia digaji rendah," Bjong berujar.
Chui mengangguk mengiyakan. "Betul katamu itu. Kalau begitu, bagaimana caranya kita mendapatkan uang untuk menghidupi keluarga kita jika kita tak memperoleh pekerjaan lagi?"
Semua terdiam. Mereka tahu bahwa mencari pekerjaan baru jauh lebih sulit daripada mempertahankan pekerjaan yang sudah ada. Itu pun tak dapat mereka lakukan ketika mereka kehilangan pekerjaan mereka beberapa waktu yang lalu. Mereka hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja tak sanggup lagi menggaji mereka dan mereka harus puas menerima pesangon yang tak seberapa.
Sekonyong-konyong keheningan mereka dipecahkan oleh suara seorang wanita yang datang dari arah belakang Bjong yang sedang duduk membelakangi jalan. Wanita yang sudah berumur namun masih terlihat cantik dan modis itu datang menghampiri mereka.
"Aku dapat memberitahu kalian bagaimana caranya menjadi kaya dengan mudah."
***
Ombak bergulung-gulung berdebur memecah pantai. Suaranya yang gemuruh diiringi jerit pekik burung-burung laut, menambah kesan misterius malam yang dingin itu.
Bjong, Vikram, dan Chui baru saja tiba di pantai berbatu itu. Tempat tersebut jarang dikunjungi orang, bukan saja karena tempat itu sangat terpencil, tapi juga karena ombaknya yang besar dan ganas membuat takut orang-orang yang ingin berenang di situ.
"Sepertinya inilah saatnya," Chui berkata sambil melirik arloji murah yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu tepat menunjukkan pukul dua belas malam.
Bjong mengeluarkan silet dari saku kemejanya dan ia membuat sayatan kecil pada ujung jari manisnya. Darah segar mulai menetes ke dalam botol kecil yang dipegang Vikram. Setelah dirasanya cukup, ia mengoleskan sedikit darahnya pada kertas kecil yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Chui dan Vikram melakukan hal yang sama. Mereka bergiliran menyayat sedikit ujung jari manis mereka dan membiarkan darah segar menetes ke dalam botol dan mengoleskan sedikit ke atas kertas.
Setelah semuanya selesai, Bjong memasukkan kertas yang sudah ternoda darah ke dalam botol yang berisi campuran darah ketiga orang itu. Ia kemudian menyumbat erat botol kecil itu dan berjalan menghampiri laut. Sementara kedua temannya menunggu di pantai.
Bjong berjalan semakin menjauhi daratan dan air pasang kini telah menggenangi pahanya. Tanpa ragu-ragu ia melemparkan botol itu jauh-jauh ke tengah laut.
***
Hari sudah menjelang pagi. Semburat sinar mentari menaburkan kilau keemasannya di permukaan laut yang terlihat tenang.
Bjong dan kedua temannya tampak masih terlelap. Gemerisik dedaunan dan ranting pohon di atas mereka perlahan memaksa Vikram membuka matanya, dan kemudian segera membangunkan Bjong dan Chui yang masih terhanyut dalam mimpi mereka masing-masing.
Beberapa menit kemudian mereka bertiga terlihat berjalan-jalan di tepi pantai. Mereka tampak seperti sedang mencari sesuatu. Setelah beberapa saat Chui berseru kegirangan memanggil kedua orang temannya.
"Aku menemukannya! Lihat, bukankah ini botol yang tadi malam kita lempar ke tengah laut? Kita telah menemukannya!"
Teman-temannya segera menghampirinya. Vikram mengambil botol tersebut dan melihatnya dengan seksama. "Ya, betul! Tapi tidak ada darah lagi di dalamnya, walaupun kertas itu masih ada. Botol ini tidak mungkin bocor karena kertas ini tampak masih kering."
Tiba-tiba perasaan aneh mulai menyelimuti dirinya.
Bjong tidak sabar lagi. Direbutnya botol itu dari tangan Vikram dan segera dibukanya sumbat botol tersebut. Teman-temannya menahan napas ketika Bjong mengeluarkan kertas dari dalam botol dan membuka gulungannya.
Tak ada lagi noda darah pada kertas itu. Kertas itu tampak putih bersih. Bjong menghampiri tepi laut dan ia membungkuk, membiarkan ombak laut menjilati kertas itu.
Beberapa saat kemudian hal yang paling mustahil terjadi di depan ketiga pasang mata para sahabat itu.
Pelan namun pasti, empat buah angka mulai terlihat di atas kertas yang semula putih bersih.
Lima ... empat ... satu ... enam.
Chui dan Bjong bersorak gembira. Mereka segera mencatat angka-angka tersebut, sementara Vikram hanya diam mematung. Semua hal itu membuat perasaannya tak enak.
***
Bjong dan Chui segera membuka halaman koran bagian tengah. Tampang mereka serius sekali. Kemudian mata mereka tertuju pada sebuah kolom kecil di pojok kanan atas.
Lima ... empat ... satu ... enam!
Mereka saling berpandangan. Senyum licik penuh kemenangan terukir di wajah mereka sebelum akhirnya mereka berteriak gembira dan saling berpelukan. Impian mereka selama ini untuk memperoleh kekayaan yang mereka inginkan kini tampak di depan mata. Mobil mewah… vila… jalan-jalan ke luar negeri…emas… berlian…
***
Orang-orang menutup hidung ketika polisi mengangkat jenasah salah satu putra Bjong yang hilang dari dalam air, sebelum kemudian memasukkannya ke dalam ambulans yang diparkir di tepi pantai. Wajahnya hampir tak bisa dikenali lagi. Tubuhnya membengkak dan tak utuh lagi dengan disertai luka di sana sini. Mungkin akibat dimakan binatang laut, setelah menghilang selama beberapa hari sebelumnya sewaktu berenang di perairan lepas bersama adiknya, yang sampai saat ini jasadnya masih belum ditemukan.
Beberapa hari kemudian, istrinya yang tak kuat mengalami penderitaan ini, ditemukan telah tewas tak bernyawa mengambang di permukaan sungai dengan kepala hancur hampir tak berbentuk dan tubuh memar di sana sini akibat benturan benda keras di sekitar sungai. Orang-orang sebelumnya melihat wanita malang ini berjalan mondar-mandir dengan pandangan hampa sesaat sebelum akhirnya memanjat ke atas pagar jembatan dan terjun bebas ke sungai sehingga kepalanya luka parah terbentur pagar pembatas. Perhiasan-perhiasan mahal masih melekat di tubuhnya ketika orang-orang menemukannya di sungai.
Bjong sangat terpukul dengan semua ini dan ia harus menghuni rumah sakit jiwa. Beberapa orang perawat kerap kali memergokinya sedang melempar-lemparkan botol kosong ke dalam bak air sambil berteriak dan tertawa-tawa.
Chui tersiram air panas sewaktu sedang memasak dan sekujur tubuhnya melepuh. Ia dirawat selama beberapa hari di rumah sakit setempat. Tapi lukanya yang parah telah menimbulkan infeksi dan berbagai penyakit komplikasi lainnya, sehingga ia tak dapat bertahan lagi dan menghembuskan napas yang terakhir.
Vikram yang tak sepenuhnya mengikuti permainan maut kedua temannya tak luput dari musibah. Secara tiba-tiba saja ia terpeleset sewaktu menyeberang di jalan raya. Sebuah mobil yang melintas tak bisa lagi menghindarinya dan menggilas kedua kakinya hingga hancur. Ia akhirnya selamat setelah seseorang melihat kecelakaan tersebut dan bergegas membawanya ke rumah sakit terdekat.
Tak seorang pun mengetahui mengapa ketiga sahabat ini mengalami musibah yang sangat mengerikan secara hampir bersamaan. Dan semua musibah yang menimpa mereka disebabkan oleh air, yang telah memberikan apa yang mereka inginkan, dan yang menuntut imbalan atas apa yang telah mereka peroleh.
Ke sanalah mereka telah mengantarkan darah mereka. Dan dari sana pulalah siulan kematian itu mengalun.
bayangan kematian
Aku takut pada cermin.
Terutama pada setiap bayangan orang-orang yang terpantul di dalamnya…
Jika ada satu hal yang dapat kuenyahkan dari dunia ini, itu adalah pantulan bayangan. Entah itu di cermin, kaca mobil, ataupun benda-benda mengkilap lainnya yang dapat memantulkan bayangan setiap objek di dalamnya dengan cukup jelas.
Bayangan-bayangan tersebut sungguh membuatku gila! Tak jarang sumsumku berdesir setiap saat secara kebetulan aku melewati objek mengkilat. Terutama jika aku melihat bayangan orang lain selain diriku sendiri di dalam cermin tersebut. Mungkin hal ini dianggap aneh bagi kebanyakan orang. Tetapi apa yang terjadi tiga tahun yang lalu benar-benar telah mengubah hidupku sepenuhnya.
Waktu itu aku baru saja merayakan ulang tahunku yang kelima belas. Siang itu aku menemani salah seorang bibiku ke salon langganannya. Sebenarnya aku agak malas menemani bibiku yang satu itu. karena jika ia sudah keasyikan mengobrol, gempa bumi yang super dahsyat atau hujan batu pun tak akan menghentikan ocehannya yang super lengkap, dari isu seputar kenaikan BBM, gosip artis, sampai si Chiko yang suka menguber-uber anjing betina tetangga sebelah kami. Pokoknya ampun-ampunan deh bibiku yang satu itu.
Maka dengan berbekal komik, sebatang coklat, dan MP4 yang baru kubeli dua hari sebelumnya, akhirnya dengan setengah hati aku pun menyetujui untuk ikut bibiku ke salon. Nggak apa-apalah, pikirku, siapa tahu bibiku bersedia mentraktirku pizza sepulang kami dari salon nanti, sebagai upahku menemaninya hari itu.
Akhirnya setelah terkantuk-kantuk di dalam tuk-tuk (sejenis kendaraan umum di Thailand) selama beberapa saat, kami tiba juga di gedung bercat merah muda itu. Bangunan berarsitektur Portugis itu masih kelihatan seindah dan semenarik dua tahun sebelumnya, ketika terakhir kali aku menemani ibu dan bibiku ke tempat tersebut. Dengan dinding luar berbalutkan relief bunga teratai ungu dan merah, salon itu berdiri megah di tengah himpitan gedung-gedung perkantoran lain yang menjulang tinggi di sekitarnya.
Salon itu tidak sepenuh biasanya. Maklumlah. Mungkin karena hari itu hari Rabu pagi. Dari kaca jendela luar hanya terlihat beberapa orang remaja putri di dalam dan seroang nyonya muda yang sedang di-crembath. Syukurlah, kataku dalam hati. Moga-moga bibiku cepat selesai. Aku sudah tak sabar ingin menikmati pizza kegemaranku!
Begitu kami melangkah masuk, aroma wewangian khas Thailand segera menyergap kehadiran kami berdua. dan seorang wanita muda berbusana daerah menyambut kami dengan senyum ramahnya. Ia dengan sigap mengantarkan bibiku ke ruang sebelah dalam sementara aku segera memarkirkan pantatku di kursi empuk di sudut ruangan dan mengeluarkan MP4 biru mudaku. Detik berikutnya aku telah asyik terlarut dalam komikku sambil mengunyah coklat dan mendengarkan lagu.
Waktu berlalu dengan cepat. Kira-kira satu jam kemudian bibiku sudah hampir selesai. Ia sedang mematut-matut dirinya di depan cermin. Aku bangkit dari kursi dan menghampirinya. Sekilas aku melirik ke arah cermin. Pada saat itulah aku melihat sesuatu yang aneh.
Wajah penata rambut yang pada saat itu sedang menyemprotkan hair spray pada rambut bibiku terlihat menyeramkan. Pelipis sebelah kirinya terlihat mengucurkan darah dan membasahi kemeja putihnya. Aku tersentak kaget! Segera aku memalingkan wajah dari cermin dan memperhatikan sang penata rambut yang berdiri tepat di samping kananku. Tapi ia terlihat baik-baik saja! Tak ada luka sedikit pun pada wajahnya dan kemejanya putih bersih.
Aku mulai kebingungan. Aku kembali memandang cermin. Dan apa yang kulihat tetap sama dengan apa yang kulihat pertama kali. Wajah dan baju yang merah oleh ceceran darah yang mengucur semakin deras!
Aku tak tahan lagi! Aku segera mengubah posisi berdiriku agar aku tak dapat melihat bayangannya di cermin. Semua ini benar-benar membuatku gila! Apakah ada yang salah dengan penglihatanku? Ataukah ini hanya imaginasiku belaka?
Tak lama kemudian bibiku selesai dan kamipun pulang ke rumah melalui rute yang sama. Sepanjang perjalanan aku mengunci bibirku rapat-rapat. Pikiranku benar-benar kalut! Aku masih bingung dengan apa yang baru saja kualami.
Selang beberapa minggu kemudian, bibiku kembali ke salon itu untuk creambath. Pada saat itulah kami mendengar kabar bahwa salah seorang penata rambut salon tersebut telah meninggal dunia dua minggu sebelumnya karena kecelakaan mobil dan ia adalah penata rambut yang waktu itu melayani bibiku! Katanya sewaktu ia hendak pulang ke rumah pada hari itu, di tengah jalan ia tertabrak oleh seorang pengendara motor ugal-ugalan sehingga tubuhnya terpental ke aspal dan kepalanya terbentur keras sehingga darah mengucur dari wajahnya. Orang-orang segera membawanya ke rumah sakit terdekat, tetapi ia meninggal dunia dalam perjalanan karena luka-lukanya sangat parah dan ia mengalami pendarahan hebat di kepalanya.
Aku tertegun.
Mendadak aku teringat penglihatan yang kualami waktu itu. Apakah itu merupakan firasat akan terjadinya sesuatu? Aku berusaha melupakan peristiwa tersebut dan kuanggap hal itu sebagai suatu kebetulan belaka. Sampai beberapa bulan kemudian....
*****
Hari sudah siang ketika aku dan Irene, teman sekelasku, pulang dari sekolah. Rumah kami berdekatan, sehingga hampir setiap hari kami pergi dan pulang sekolah bersama-sama. Dalam perjalanan pulang kami memutuskan untuk mampir ke mal terdekat untuk membeli beberapa perlengkapan sekolah.
Sewaktu kami melewati sebuah butik pakaian, secara kebetulan aku menoleh ke arah kaca etalase. Dan napasku tersentak. Aku dapat melihat bayanganku sendiri di kaca itu, tetapi di sampingku bukan bayangan Irene, melainkan ayahnya. Ia terlihat pucat dan sedih.
Jantungku berdegup keras. Aku teringat kembali peristiwa yang kualami beberapa bulan sebelumnya bersama bibiku. Aku tak tahu apakah hal yang sama akan terulang lagi. Aku tak berani mengucapkan sepatah kata pun tentang hal itu padanya. Aku tak ingin ia sedih memikirkan hal-hal yang belum tentu akan terjadi.
Malam itu aku baru saja akan pergi tidur ketika tiba-tiba telepon berdering. Ketika kuangkat, terdengar suara Irene. Ia tersedu-sedu. Aku langsung merasakan firasat buruk. Di sela isak tangisnya, ia berkata terbata-bata,
"Phrai, ayahku ..." ia tak dapat melanjutkan kalimatnya. Ia hanya terisak pelan.
"Ada apa dengan ayahmu? Apa yang terjadi?" Mendadak aku merasa gugup dan tegang. Tanganku gemetaran. Pikiranku benar-benar kalut. Apakah ini…?
Tidak mungkin! Jangan!
Belum sempat aku berpikir lebih jauh, isakan Irene kembali terdengar.
"Ayahku tak sadarkan diri. Beberapa saat yang lalu ia mendapat serangan jantung. Kini ia sedang dalam perjalanan ke rumah sakit."
Aku tersentak kaget. Seketika tubuhku lunglai dan jantungku berdegup tak karuan. Oh Tuhan, jangan biarkan firasatku menjadi kenyataan,, doaku dalam hati.
"Irene, kita berdoa saja, semoga beliau tidak apa-apa," kataku sambil menarik napas panjang.
"Suster yang merawat ayahku mengatakan bahwa ayahku dalam kondisi kritis karena ia terlambat diberikan pertolongan," Irene berkata lirih sambil terisak-isak.
Aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi selain menghibur sahabatku itu. Malam harinya aku berdoa semoga firasatku meleset dan segalanya akan baik-baik saja. Aku sungguh-sungguh berusaha menghibur diriku sendiri bahwa apa yang kulihat waktu itu di kaca etalase toko bersama Irene adalah halusinasiku saja dan tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang telah terjadi pada ayah Irene. Tetapi semakin aku berusaha meyakinkan diriku sendiri, semakin besar keraguan yang tumbuh jauh di lubuk hatiku bahwa apa yang kualami sebelumnya tidak akan terulang kembali.
Keesokan harinya aku kembali mendapat kabar dari Irene. ia mengabarkan bahwa ayahnya telah meninggal dunia malam itu juga. Aku sangat sedih mendengarnya. Terlebih-lebih karena aku telah mendapat pertanda tentang hal itu sebelumnya namun tak ada yang dapat kulakukan untuk mencegah musibah itu. Apakah ini suratan takdir? Jika ya, apa gunanya aku mendapatkan firasat itu jika aku sendiri tak dapat melakukan apa-apa untuk mencegahnya? Mengapa? Mengapa? Beribu tanda tanya berkecamuk dalam benakku, namun aku sungguh tak kuasa untuk menjawab semua pertanyaan itu. Semua peristiwa ini benar-benar membuatku stres!
Semenjak kedua peristiwa itu, aku masih mendapat penglihatan-penglihatan lain yang sering kali membuatku dibayangi perasaan bersalah, sedih, dan takut. Tak jarang aku melihat bayangan-bayangan menyeramkan dari orang-orang di sekililingku yang tak kukenal. Entah itu bayangan pedagang sayur yang kebetulan lewat di dekatku, atau bahkan seekor kucing liar yang melintas di hadapanku. Semua bayangan mereka sungguh membuatku merana!
Aku hanya bertanya-tanya, kapan kiranya, suatu hari nanti, aku akan melihat bayangan kematianku sendiri. Apakah hari ini? Besok? Lusa? Ataukah tahun depan? Atau bahkan sesaat lagi?
Aku hanya berharap semoga aku siap menghadapi hari itu.
aisyah

Rojas, 15, Sarawak
Malam itu di asrama anak laki-laki panas sekali. Dan Husein masih belum bisa tidur. Berkali-kali ia membalikkan badannya di tempat tidur sambil mengumpat-umpat.
"Kenapa aku harus tidur secepat ini? Aku kan sudah sehat!"
Sudah tiga hari ia menempati klinik asrama karena radang tenggorokan yang dideritanya. Sebenarnya sore itu dokter sudah menyatakan bahwa ia sudah sembuh, tapi ia hanya mengijinkan untuk kembali ke kamarnya esok paginya.
"Besok saja ya, sekarang kan tanggung, kamarmu yang dulu belum dibersihkan. Nanti kalau kamu sakit lagi gimana? Kamu nggak mau penyakitmu bertambah parah kan?" Dokter Hamed berujar sambil tersenyum. Suster Ema yang berdiri di samping pak dokter ikut mengiyakan sambil mengacak-acak rambut Husein.
“Betul, Nak. Tadi waktu saya ke sana ternyata dinding sebelah kananmu masih dicat, dan kemungkinan baru selesai besok pagi. Sabar ya, Nak. Lagipula kamarmu yang ini kan jauh lebih luas dan jendelanya pun jauh lebih besar. Besok saja ya, Nak?”
Husein terpaksa menurut sambil bersungut-sungut. Sialan, umpatnya, bisa mati kebosanan aku di sini. Tinggal selama tiga hari di klinik asrama itu sendirian yang letaknya bersebelahan dengan kamar ibu asrama terasa tiga tahun baginya. Tidak ada televisi dan radio. Sungguh membosankan! Setiap hari yang dikerjakannya hanyalah membaca buku-buku cerita usang yang dipinjamnya dari Syahril, anak tukang kebun di asrama tersebut.
“Anak Kancil Bertemu Dengan Berry si Beruang Coklat..” Husein menggumam sambil jari jemarinya menyeruak halaman demi halaman buku cerita lusuh yang dipegangnya tersebut. Apa remaja seumur dia masih suka membaca buku cerita anak-anak seperti ini? Husein menggeleng-gelengkan kepalanya sambil diam-diam menertawakan Syahril yang memang penampilannya lugu dan polos. Pantas dia masih menjomblo, Husein tersenyum sambil membayangkan Syahril dengan sandal jepit biru dan kaos oblong kedodoran yang hampir setiap hari dikenakannya tersebut.
Hawa di ruangan kecil di samping kamar ibu asrama tersebut masih terasa panas. Tetapi Husein sudah tidak mengindahkannya lagi. Ia sedang asyik dengan cerita Kancil dan Beruang yang terdapat di hadapannya. Baginya tiada jalan lain untuk membunuh waktu yang membosankan tersebut dengan memaksakan dirinya memahami dan terlarut dengan setiap aluran cerita yang terpaksa direguknya kata demi kata.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah satu pagi. Sayup-sayup terdengar suara binatang malam bersahutan dari luar jendela kamarnya diiringi sesekali suara lembut hembusan angin yang bertiup di sela-sela cabang pepohonan akasia di samping kanan jendela kamar bercat putih tersebut.
Husein memandang ke arah jendela di sampingnya yang terbuka setengah. Angin malam berhembus masuk ke dalam kamarnya yang juga dicat putih. Huh, masih terasa panas, keluhnya sambil mengusap keningnya yang agak berkeringat. Kipas angin di atas kepalanya sudah lama tidak berfungsi lagi. Tangannya bergerak untuk membuka jendela itu lebih besar lagi ketika ia menangkap sesosok bayangan putih berkelebat di atas pohon tepat di seberang kamarnya.
Husein menggosok-gosokkan matanya. Apa itu, pikirnya penasaran.
Husein kini duduk dengan tegak di atas ranjangnya yang berderit-derit setiap kali ia menggerakkan tubuhnya yang sedikit gempal. Sosok itu kini terlihat jelas. Ia adalah sesosok wanita muda cantik yang sedang duduk duduk di atas dahan yang tinggi sambil menggerak-gerakkan kakinya dan bersenandung pelan. Seolah-olah ia sedang berayun-ayun di atas ayunan. Rambutnya terlihat hitam lurus ikut bergerak-gerak ditiup angin yang berhembus pelan. Parasnya lembut dan cantik. Wanita misterius itu terus saja asyik bersenandung seolah tak memperhatikan sepasang mata yang mengawasinya dari kejauhan.
Husein menatapnya tak berkedip. Jantungnya berdegup keras. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya. Tangannya gemetaran. Otaknya seakan berhenti berputar. Dia hanya duduk terpaku menatap pemandangan di depannya.
Sekonyong-konyong wanita itu berhenti bersenandung dan dengan tiba-tiba menatap lurus ke arah Husein yang masih duduk terpaku di dalam kamarnya. Tatapannya tajam dan menusuk. Setajam tatapan elang yang hendak menerkamnya bulat-bulat dari atas pohon. Suasana bertambah hening mencekam. Husein merasakan seolah darahnya berhenti mengalir.
Sebelum Husein sempat menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi, tiba-tiba wanita itu ‘terbang’melayang dari atas pohon tempatnya bertengger dan detik berikutnya wajahnya sudah berada dekat sekali di jendela. Mata mereka saling bertatapan satu sama lain. Wanita itu berdiri begitu dekat dengan wajahnya sehingga Husein bisa merasakan hembusan hawa dingin dari sosok di hadapannya itu. Saat berikutnya tiba-tiba saja wanita itu tersenyum menyeringai. Wajah ayunya digantikan oleh paras yang tiba-tiba terlihat begitu menyeramkan. Taringnya yang panjang dan runcing menyeruak dari senyumnya yang jahat!
Husein tersentak! Dengan refleks ia menutup jendela dan meguncinya serta menutup tirainya rapat-rapat. Tubuhnya gemetaran hebat di atas ranjang. Detik berikutnya ia menjerit sekuatnya sambi berteriak-teriak minta tolong dan menyelubungi dirinya dengan selimut bergaris hijau yang selama ini tidak pernah dipakainya. Tapi kemudian ia teringat bahwa ibu asrama sedang keluar kota dan ia tidak tahu ke mana suster centil yang seharusnya berjaga di kamar sebelah. Sial! Sial! Sial! Sejuta kali SIAL! Ia berkali-kali mengumpat dalam hati.
Kemudian ia berusaha mengucapkan doa-doa yang pernah dipelajarinya selama ini. Entah karena gugup atau lupa, tidak satu pun doa-doa yang sempurna diucapkannya.
Tapi ia tidak peduli. Ia terus berusaha keras mengucapkan doa-doa sebisanya sampai ia kelelahan dan jatuh tertidur di balik selimutnya yang tebal. Beberapa saat kemudian ia terbangun karena merasa kegerahan. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Pelan-pelan ia membuka selimut yang menyelubungi kepalanya sedikit demi sedikit dan mengintip keadaan kamarnya. Keadaan sunyi senyap. Jam dinding berdetak pelan dan lembut. Husein melirik ke arah jam tersebut. Sudah pukul 2.15 pagi.
Ia menyibakkan selimutnya dan berusaha untuk tidur lagi ketika ia mendengar suara langkah sepatu berhak tinggi di koridor di depan kamarnya. Mungkinkah itu ibu asrama yang baru datang dari luar kota?
Husein baru saja memejamkan matanya ketika ia mendengar seseorang membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk ke dalam.
"Bagaimana keadaanmu hari ini, Sayang?" Suara suster Jane yang genit yang dikenalnya selama ini menenangkannya. Mendadak ia merasa lega karena ia tidak sendirian lagi di kamarnya. Parfum suster Jane mulai menyeruak memenuhi ruang tersebut.
"Eh, baik, Sus. Suster dari mana? Kok sudah selarut ini belum tidur?" Husein berkata. Matanya terkesima tatkala melihat tubuh suster Jane yang terbalut erat di balik seragam putihnya yang terlihat sangat ketat dan sesak. Ia kelihatan lebih cantik dari biasanya.
"Aku baru saja menemai Bu Christin menonton telivisi dan lalu aku jalan-jalan di luar sebentar, soalnya udara panas sekali sih hari ini," Suster Jane berkata pelan sambil mengusap-usap dahi Husein yang basah oleh keringat.
“Kamu sendiri kok belum tidur, Sayang?” Suster muda yang terlihat sangat cantik dan seksi itu tersenyum lagi. Ia begitu lembut dan penuh perhatian. Tangannya yang halus terasa sangat menentramkan hati Husein yang segera melupakan kejadian menyeramkan sebelumnya. Kini jantungnya mulai berdegup kencang lagi. Bukan karena takut. Tapi karena tubuh Suster Jane terlihat semakin indah tatkala ia mendekat untuk mengecup keningnya. Tak lama Husein pun merasa mengantuk dan ia mulai menutup matanya.
"Tidurlah, Sayang..." Suster Jane berkata lembut. Rambutnya yang harum menyapu lembut wajah Husein.
Husein membuka matanya kembali untuk mematikan lampu baca yang ada di samping tempat tidurnya ketika tanpa sadar ia melihat ke arah lantai dan menyadari bahwa yang selama ini dikiranya Suster Jane ternyata kakinya tidak menapak pada tanah melainkan melayang di udara!
Seketika Husein menjerit dan meloncat dari tempat tidurnya dan segera berlari di koridor sambil berteriak-teriak seperti orang gila. Ia berlari ke arah kamar Pak Singh, tukang kebun, yang kebetulan berada tidak jauh dari kamarnya. Ia menggedor-gedor kamarnya sambil berteriak-teriak ketakutan. Matanya nanar dan nafasnya terasa sesak.
Sesaat kemudian Husein sudah berada di dalam kamar Pak Singh, yang masih berusaha menenangkannya. Sementara itu guru-guru dan teman-temannya yang lain yang terbangun oleh teriakannya ikut berdesak-desakan di kamar Pak Singh yang sempit dan mengerubunginya. Mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Tenang, tenang... Biarkan ia minum dulu," kata Pak Ahmad sambil menyodorkan segelas air putih. Husein menerima air yang disodorkan dan segera meminumnya. Tanpa disadarinya tiba-tiba ia merasa sangat haus, dan ia segera menghabiskan air tersebut. Pak Ahmad dan beberapa staf lain yang sedang bertugas malam itu memandanginya dengan cemas.
“Kamu tidak apa-apa, Nak?”
Husein menggelengkan kepalanya lemah. Kini ia sudah jauh merasa lebih baik dari sebelumnya. Beberapa saat kemudian setelah ia tenang, ia menceritakan apa yang telah dialaminya malam itu. Semua berpandang-pandangan.
"Pasti itu Aisyah. Ya, itu pasti dia...," orang-orang ribut menggumam.
“Aisyah? Siapa dia?” Dahi Husein berkerut.
Kemudian Pak Singh menceritakan bahwa beberapa tahun yang silam terdapat seorang siswa yang dikeluarkan dari asrama karena berpacaran dengan anak salah seorang tukang kebun waktu itu. Hubungan mereka tidak direstui oleh kedua belah pihak sehingga pihak asrama terpaksa mengeluarkan siswa tersebut dari sekolah. Sejak saat itu anak laki-laki itu tak lagi menunjukkan batang hidungnya di asrama tersebut sehingga Aisyah merasa putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di atas pohon tepat di depan kamar klinik asrama. Tubuhnya yang telah dingin dan kaku ditemukan pada pagi hari keesokan harinya oleh ayahnya sendiri yang telah mencarinya ke mana-mana malam sebelumnya.
Tak lama setelah peristiwa tersebut beberapa siswa dan guru menemui hal-hal ganjil dan menyeramkan di sekitar pohon tersebut, terutama pada malam bulan purnama seperti apa yang dialami Husein pada malam itu.
Bahkan tahun sebelumnya ada dua orang siswa yang sedang melewati koridor di dekat klinik asrama secara kebetulan melihat seorang gadis berpakaian suster yang wajahnya mirip dengan Aisyah. Tetapi waktu didekati, gadis itu tiba-tiba menghilang. Atau, beberapa orang tukang yang sedang membetulkan pipa di halaman belakang kadang-kadang melihat sesosok wanita muda berpakaian putih sedang duduk berayun-ayun di atas pohon sambil bersenandung riang dan tertawa-tawa kecil. Tapi wajah pucatnya menunjukkan kesedihan hatinya yang entah kapan dapat terobati…
Urashima Taro dan Penyu Laut
Urashima Taro, yang dalam bahasa Jepang berarti "Anak laki-laki dari pulau," adalah anak satu-satunya dan merupakan kesayangan dari seorang nelayan tua dan istrinya.
Dia sangat baik, muda dan kuat, dia dapat berlayar dengan perahu jauh lebih pandai dari orang-orang yang tinggal di tepi pantai rumahnya. Dia sering berlayar jauh ke tengah laut, dimana para tetangganya sering memperingati orangtuanya bahwa mungkin suatu saat dia akan pergi terlalu jauh ke laut dan tidak pernah kembali lagi.
Orangtuanya tahu akan hal ini, bagaimanpun juga, mereka mengerti bahwa anaknya sangat pandai berlayar, dan mereka tidak pernah terlalu mengkuatirkannya. Bahkan bila Urashima pulang lebih lambat dari yang diharapkan, mereka selalu menunggu kedatangannya tanpa rasa cemas. Mereka mencintai Urashima lebih dari hidup mereka sendiri, dan bangga bahwa dia sangat berani dan lebih kuat dari anak laki-laki tetangganya.
Suatu pagi, Urashima Taro pergi untuk mengambil tangkapan di jaringnya, seperti yang ditebarkannya kemarin malam. Di salah satu jaringnya, diantara ikan yang tertangkap, dia menemukan seekor penyu kecil yang ikut terjerat. Penyu itu di ambilnya dan diletakkannya di dalam perahu sendiri, disimpannya di tempat yang aman, hingga dia dapat membawanya pulang ke rumah. Tetapi dengan kagum, Urashima mendengarkan penyu itu memohon dengan suara yang sangat lirih. "Apa gunanya saya bagi kamu?" tanya penyu itu. "Saya terlalu kecil untuk dimakan, dan terlalu muda hingga butuh waktu yang lama hingga saya menjadi besar. Kasihanilah saya dan kembalikan saya ke laut, karena saya tidak ingin mati." Urashima Taro yang baik hati menaruh belas kasihan paa penyu kecil yang memohon sehingga dia melepaskan kembali penyu kecil itu ke laut.
Beberapa tahun setelah kejadian ini, ketika Urashima Taro pergi berlayar terlalu jauh ke tengah laut, badai yang buruk datang menerpa perahunya dan memecahkan perahunya hingga berkeping-keping. Urashima adalah perenang yang sangat baik, dan dia terus berupaya agar dapat sampai ke tepi pantai dengan berenang, tetapi jarak antara dia dan pantai terlalu jauh dan saat itu laut sangat ganas, kekuatannya akhirnya melemah dan dia sudah mulai tenggelam perlahan-lahan. Saat dia menyerah dan berpikir bahwa dia tidak akan pernah bertemu dengan ayahnya lagi, dia mendengar namanya dipanggil dan melihat penyu yang besar berenang ke arahnya.
Naiklah kepunggungku," teriak penyu itu, "dan saya akan membawamu menuju daratan." Ketika Urashima Taro telah aman dan duduk di punggung penyu itu, penyu itu lalu melanjutkan kata-katanya: "Saya adalah penyu yang kamu lepas saat saya masih kecil dan tidak berdaya di jaring mu, dan saya sangat senang dapat membalas kebaikanmu."
Sebelum mereka tiba di pantai, penyu itu bertanya kepada Urashima Taro bahwa apakah dia ingin melihat kehidupan yang indah yang tersembunyi di bawah laut. Nelayan muda itu membalas bahwa hal itu adalah pengalaman yang akan sangat menyenangkan. Dalam sekejap, mereka berdua menukik ke dalam air yang berwarna hijau. Urashima memegang erat-erat punggung penyu yang membawanya ke kedalaman yang tak terkira. Setelah tiga malam, mereka mencapai dasar laut, dan tiba di tempat yang sangat indah, penuh dengan emas dan kristal. Koral dan mutiara dan berbagai macam batu-batuan berharga membuat matanya menjadi berbinar-binar dan terkagum-kagum, dan apa yang ada di dalam istana tersebut lebih membuat dia terkagum lagi, diterangi dengan sisik-sisik ikan yang bersinar indah.
"Ini," kata penyu itu, "Ini adalah istana dewi laut. Saya adalah salah satu pelayan dari putri dewi laut."
Penyu itu kemudian menyampaikan kedatangan Urashima Taro ke sang Putri, dan tidak lama kemudian dia kembali, membawa Urashima ke hadapan sang Putri. Putri dewi laut itu sangat cantik sehingga ketika sang Putri meminta agar Urashima mau tinggal di tempat itu, Urashima langsung menyetujuinya dengan gembira.
"Jangan tinggalkan saya, dan kamu akan selalu terlihat muda seperti sekarang, usia tua tidak akan pernah kamu alami," kata sang Putri.
Begitulah akhirnya Urashima Taro tinggal di istana bawah laut bersama putri dari Dewi laut. Dia begitu gembira hingga tidak merasa bahwa waktu terus berlalu tanpa terasa. Berapa lama dia disana tak pernah disadarinya. Tetapi suatu hari, dia teringat kepada kedua orangtuanya; dia ingat bahwa orangtuanya mungkin merasa kehilangan dengan ketidakhadirannya. Semakin hari, keinginan untuk pulang terus datang dan bertambah kuat. Pada akhirnya, Urashima mengutarakan maksudnya kepada sang Putri bahwa dia harus pergi menjenguk orangtuanya. Sang Putri menangis sedih dan memohon agar Urashima tidak pergi.
"Jika kamu pergi, saya mungkin tidak akan melihatmu lagi," tangis sang Putri.
Tetapi keinginan Urashima sangat kuat dan tidak dapat dibujuk lagi. Urashima sangat ingin melihat kedua orangtuanya sekali lagi dan berjanji akan pulang kembali ke istana itu dan tinggal bersama sang Putri selama-lamanya. Sang Putri akhirnya setuju dan memberikan sebuah kotak emas kepadanya dan berpesan agar kotak itu jangan pernah dibuka.
"Jika kamu mengindahkan kata-kataku," katanya kembali, "kamu mungkin masih dapat kembali kepadaku. Saat kamu siap, penyuku akan berada disana untuk membawamu, tetapi bila kamu lupa apa yang saya katakan kepadamu, Saya tidak akan pernah dapat menemui kamu lagi."
Urashima Taro dengan bersemangat meyakinkan dia bahwa tidak ada satupun di dunia yang dapat memisahkan mereka, dan mengucapkan selamat tinggal. Dengan menunggangi punggung penyu, dengan cepat dia meninggalkan istana jauh dibelakang. Selama tiga hari tiga malam mereka berenang, dan akhirnya penyu itu tiba di tepi pantai dekat rumahnya yang dulu.
Dengan bersemangat dia lari ke desa itu dan mencari semua teman-teman lamanya. Semua wajah terlihat asing baginya, bahkan rumahnya pun kelihatan berbeda. Anak-anak yang bermain di pinggir jalan dimana dia pernah tinggal, tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Dia berhenti di depan rumahnya, dengan hati berdebar-debar, dia mengetuk pintu rumah. Terdengar suara musik dari jendela atas dan seorang wanita yang asing baginya membukakan pintu. Wanita itu tidak bisa menjelaskan tentang orangtuanya dan bahkan tidak pernah mendengar nama kedua orangtuanya. Urashima lalu keluar dari rumah tersebut dan menanyai semua orang yang dijumpainya. Tetapi semua yang ditanyai hanya memandanginya dengan curiga. Akhirnya dia menuju ke tanah pekuburan di luar desa. Mencari-cari di antara kuburan yang ada, dan dengan cepat dia menemukan dirinya berdiri di dekat nama yang selama ini dicari-carinya. Tanggal pada batu nisan itu menunjukkan bahwa ayah dan ibunya meninggal tidak lama setelah dia berangkat; dan dia menemukan bahwa dia telah pergi dari rumah itu selama tiga ratus tahun. Dengan penuh kesedihan dia membungkuk untuk menghormati orangtuanya yang terakhir kali dan kembali menuju desanya. Di setiap langkah dia berharap bahwa dia akan terbangun dari mimpinya, tetapi orang-orang yang ditemui dan jalan yang dilalui adalah nyata.
Kemudian dia teringat akan sang Putri dan kotak emas yang diberikan kepadanya. Dia berpikir bahwa mungkin saja sang Putri telah menyihirnya, dan kotak ini mempunyai jimat-jimat untuk mematahkan sihir itu. Dengan tidak sabar dia membuka kotak tersebut, dan seberkas asap berwarna ungu keluar meninggalkan kotak yang kosong. Dengan terkejut, dia tersadar melihat tangannya yang langsung menjadi tua dan gemetaran. dia menjadi sadar bahwa kotak tersebut berisi jimat yang menahan dirinya dari proses penuaan selama tiga ratus tahun, dan kotak itu telah kehilangan sihirnya. Dengan ketakutan, dia berlari ke tepi aliran air yang mengalir dari atas gunung, dan melihat bayangan dirinya yang terpantul di air itu adalah bayangan seseorang yang sangat tua.
Dia kembali ke desa itu dengan ketakutan, dan tak ada satu orangpun yang mengenali dia sebagai anak muda yang kuat beberapa jam yang lalu. Dengan kelelahan, dia akhirnya mencapai tepi pantai, dimana dia duduk di atas sebuah batu dan memanggil penyu laut yang membawanya ke istana laut. Tetapi panggilannya sia-sia belaka, penyu itu tidak pernah muncul, dan akhirnya suaranya hilang di telan kematian.
Sebelum kematiannya, orang-orang se-desa berkumpul di dekatnya dan mendengarkan ceritanya yang sangat aneh. Lama setelah kejadian itu, orang-orang desa menceritakan kepada anak-anaknya tentang seseorang yang sangat mencintai orangtuanya, meninggalkan istana bawah laut dan seorang Putri yang sangat cantik, dan orang itu bernama Urashima Taro.
Dia sangat baik, muda dan kuat, dia dapat berlayar dengan perahu jauh lebih pandai dari orang-orang yang tinggal di tepi pantai rumahnya. Dia sering berlayar jauh ke tengah laut, dimana para tetangganya sering memperingati orangtuanya bahwa mungkin suatu saat dia akan pergi terlalu jauh ke laut dan tidak pernah kembali lagi.
Orangtuanya tahu akan hal ini, bagaimanpun juga, mereka mengerti bahwa anaknya sangat pandai berlayar, dan mereka tidak pernah terlalu mengkuatirkannya. Bahkan bila Urashima pulang lebih lambat dari yang diharapkan, mereka selalu menunggu kedatangannya tanpa rasa cemas. Mereka mencintai Urashima lebih dari hidup mereka sendiri, dan bangga bahwa dia sangat berani dan lebih kuat dari anak laki-laki tetangganya.

Beberapa tahun setelah kejadian ini, ketika Urashima Taro pergi berlayar terlalu jauh ke tengah laut, badai yang buruk datang menerpa perahunya dan memecahkan perahunya hingga berkeping-keping. Urashima adalah perenang yang sangat baik, dan dia terus berupaya agar dapat sampai ke tepi pantai dengan berenang, tetapi jarak antara dia dan pantai terlalu jauh dan saat itu laut sangat ganas, kekuatannya akhirnya melemah dan dia sudah mulai tenggelam perlahan-lahan. Saat dia menyerah dan berpikir bahwa dia tidak akan pernah bertemu dengan ayahnya lagi, dia mendengar namanya dipanggil dan melihat penyu yang besar berenang ke arahnya.
Naiklah kepunggungku," teriak penyu itu, "dan saya akan membawamu menuju daratan." Ketika Urashima Taro telah aman dan duduk di punggung penyu itu, penyu itu lalu melanjutkan kata-katanya: "Saya adalah penyu yang kamu lepas saat saya masih kecil dan tidak berdaya di jaring mu, dan saya sangat senang dapat membalas kebaikanmu."
Sebelum mereka tiba di pantai, penyu itu bertanya kepada Urashima Taro bahwa apakah dia ingin melihat kehidupan yang indah yang tersembunyi di bawah laut. Nelayan muda itu membalas bahwa hal itu adalah pengalaman yang akan sangat menyenangkan. Dalam sekejap, mereka berdua menukik ke dalam air yang berwarna hijau. Urashima memegang erat-erat punggung penyu yang membawanya ke kedalaman yang tak terkira. Setelah tiga malam, mereka mencapai dasar laut, dan tiba di tempat yang sangat indah, penuh dengan emas dan kristal. Koral dan mutiara dan berbagai macam batu-batuan berharga membuat matanya menjadi berbinar-binar dan terkagum-kagum, dan apa yang ada di dalam istana tersebut lebih membuat dia terkagum lagi, diterangi dengan sisik-sisik ikan yang bersinar indah.
"Ini," kata penyu itu, "Ini adalah istana dewi laut. Saya adalah salah satu pelayan dari putri dewi laut."

"Jangan tinggalkan saya, dan kamu akan selalu terlihat muda seperti sekarang, usia tua tidak akan pernah kamu alami," kata sang Putri.
Begitulah akhirnya Urashima Taro tinggal di istana bawah laut bersama putri dari Dewi laut. Dia begitu gembira hingga tidak merasa bahwa waktu terus berlalu tanpa terasa. Berapa lama dia disana tak pernah disadarinya. Tetapi suatu hari, dia teringat kepada kedua orangtuanya; dia ingat bahwa orangtuanya mungkin merasa kehilangan dengan ketidakhadirannya. Semakin hari, keinginan untuk pulang terus datang dan bertambah kuat. Pada akhirnya, Urashima mengutarakan maksudnya kepada sang Putri bahwa dia harus pergi menjenguk orangtuanya. Sang Putri menangis sedih dan memohon agar Urashima tidak pergi.
"Jika kamu pergi, saya mungkin tidak akan melihatmu lagi," tangis sang Putri.
Tetapi keinginan Urashima sangat kuat dan tidak dapat dibujuk lagi. Urashima sangat ingin melihat kedua orangtuanya sekali lagi dan berjanji akan pulang kembali ke istana itu dan tinggal bersama sang Putri selama-lamanya. Sang Putri akhirnya setuju dan memberikan sebuah kotak emas kepadanya dan berpesan agar kotak itu jangan pernah dibuka.
"Jika kamu mengindahkan kata-kataku," katanya kembali, "kamu mungkin masih dapat kembali kepadaku. Saat kamu siap, penyuku akan berada disana untuk membawamu, tetapi bila kamu lupa apa yang saya katakan kepadamu, Saya tidak akan pernah dapat menemui kamu lagi."
Urashima Taro dengan bersemangat meyakinkan dia bahwa tidak ada satupun di dunia yang dapat memisahkan mereka, dan mengucapkan selamat tinggal. Dengan menunggangi punggung penyu, dengan cepat dia meninggalkan istana jauh dibelakang. Selama tiga hari tiga malam mereka berenang, dan akhirnya penyu itu tiba di tepi pantai dekat rumahnya yang dulu.
Dengan bersemangat dia lari ke desa itu dan mencari semua teman-teman lamanya. Semua wajah terlihat asing baginya, bahkan rumahnya pun kelihatan berbeda. Anak-anak yang bermain di pinggir jalan dimana dia pernah tinggal, tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Dia berhenti di depan rumahnya, dengan hati berdebar-debar, dia mengetuk pintu rumah. Terdengar suara musik dari jendela atas dan seorang wanita yang asing baginya membukakan pintu. Wanita itu tidak bisa menjelaskan tentang orangtuanya dan bahkan tidak pernah mendengar nama kedua orangtuanya. Urashima lalu keluar dari rumah tersebut dan menanyai semua orang yang dijumpainya. Tetapi semua yang ditanyai hanya memandanginya dengan curiga. Akhirnya dia menuju ke tanah pekuburan di luar desa. Mencari-cari di antara kuburan yang ada, dan dengan cepat dia menemukan dirinya berdiri di dekat nama yang selama ini dicari-carinya. Tanggal pada batu nisan itu menunjukkan bahwa ayah dan ibunya meninggal tidak lama setelah dia berangkat; dan dia menemukan bahwa dia telah pergi dari rumah itu selama tiga ratus tahun. Dengan penuh kesedihan dia membungkuk untuk menghormati orangtuanya yang terakhir kali dan kembali menuju desanya. Di setiap langkah dia berharap bahwa dia akan terbangun dari mimpinya, tetapi orang-orang yang ditemui dan jalan yang dilalui adalah nyata.
Kemudian dia teringat akan sang Putri dan kotak emas yang diberikan kepadanya. Dia berpikir bahwa mungkin saja sang Putri telah menyihirnya, dan kotak ini mempunyai jimat-jimat untuk mematahkan sihir itu. Dengan tidak sabar dia membuka kotak tersebut, dan seberkas asap berwarna ungu keluar meninggalkan kotak yang kosong. Dengan terkejut, dia tersadar melihat tangannya yang langsung menjadi tua dan gemetaran. dia menjadi sadar bahwa kotak tersebut berisi jimat yang menahan dirinya dari proses penuaan selama tiga ratus tahun, dan kotak itu telah kehilangan sihirnya. Dengan ketakutan, dia berlari ke tepi aliran air yang mengalir dari atas gunung, dan melihat bayangan dirinya yang terpantul di air itu adalah bayangan seseorang yang sangat tua.

Sebelum kematiannya, orang-orang se-desa berkumpul di dekatnya dan mendengarkan ceritanya yang sangat aneh. Lama setelah kejadian itu, orang-orang desa menceritakan kepada anak-anaknya tentang seseorang yang sangat mencintai orangtuanya, meninggalkan istana bawah laut dan seorang Putri yang sangat cantik, dan orang itu bernama Urashima Taro.
Tiga Orang Wanita Penenun

Ibu gadis tersebut menjadi sangat malu untuk mengakui kemalasan anak gadisnya, sehingga dia berkata,
"Saya tidak bisa menghentikan dia menenun, dia selalu ingin mengerjakannya setiap waktu dan saya terlalu miskin sehingga tidak bisa menyediakan dia rami - bahan untuk ditenun yang cukup."
Kemudian Ratu menjawab,
"Saya sangat senang mendengar suara roda alat pemintal, dan saya merasa senang mendengarkan mereka bersenandung, biarkanlah saya membawa putrimu ke istana, saya mempunyai banyak rami dan bahan tenung, di sana dia dapat memintal dengan hati gembira."
Ibu gadis tersebut sangat senang mendengarkan tawaran itu, dan Ratu pun kemudian membawa gadis tersebut bersamanya. Ketika mereka mencapai istana, Ratu memperlihatkan tiga ruangan yang penuh dengan rami dan bahan tenun yang terbaik yang ada di kerajaannya.
"Sekarang kamu dapat menenun rami ini," Katanya, "dan bila kamu berhasil menyelesaikannya, kamu akan saya nikahkan dengan putra tertua saya; kamu mungkin miskin tapi saya tidak akan memperdulikan hal itu, kain yang kamu buat dari rami ini cukup sebagai emas kawin,"
Gadis itu ketakutan dalam hati, karena dia sama sekali tidak dapat menenun, biarpun dia hidup seratus tahun dan duduk menenun setiap hari selama hidupnya dari pagi sampai malam. Dan ketika dia berada sendirian dia mulai menangis, dan duduk selama tiga hari tanpa menyentuh alat tenun. Pada hari ketiga, Ratu datang, dan ketika dia melihat tidak ada satupun tenunan yang selesai, dia lalu terkejut; tetapi gadis tersebut beralasan bahwa dia belum bisa mulai menenun karena dia masih bersedih akibat perpisahan dengan rumah dan ibunya. Alasan itu membuat Ratu menjadi tenang, tetapi ketika Ratu akan beranjak pergi, dia mengatakan "Besok pekerjaan kamu harus dimulai."
Ketika gadis itu sendirian lagi, dia tidak dapat berbuat apa apa untuk menolong dirinya sendiri atau melakukan apapun yang sudah seharusnya dilakukan. Dalam kebingungannya dia cuma keluar dan menatap keluar jendela. Saat itu dilihatnya tiga orang wanita lewat didepannya, dan wanita yang pertama memiliki kaki yang lebar dan rata, yang kedua mempunyai bibir yang tergantung turun sampai ke dagunya, dan yang ketiga memiliki ibu jari tangan yang sangat lebar. Mereka kemudian berhenti di depan jendela, dan mencoba bertanya apa saja yang gadis itu inginkan. Gadis itu menjelaskan apa yang dibutuhkannya, dan mereka berjanji akan membantunya, dan berkata,
"Kamu harus mengundang kami ke pesta pernikahanmu, dan tidak malu karena kehadiran kami, menyebut kami sebagai sanak keluarga dan sepupumu, dan diperbolehkan duduk satu meja dengan kamu; jika kamu berjanji akan memenuhi hal ini, kami akan menyelesaikan tenunan tersebut dalam waktu singkat."
"Saya berjanji sepenuh hati," jawab si gadis; "masuklah dan mulailah sekarang."
Lalu ketiga wanita itu masuk, dan mereka membersihkan sedikit ruangan pada kamar pertama untuk mereka agar mereka dapat duduk dan menempatkan alat tenun mereka. Wanita yang pertama menarik keluar benang dan mulai menapakkan kakinya ke tuas yang memutar roda alat tenun, wanita yang kedua membasahi benang, dan wanita yang ketiga memilin dan meratakannya dengan ibu jarinya diatas meja, perlahan-lahan gulungan-gulungan benang yang indah berjatuhan diatas lantai, dan ini menghasilkan tenunan yang sangat indah. Gadis itu menyembunyikan ketiga wanita penenun itu dari pandangan mata sang Ratu sehingga setiap kali Ratu berkunjung, sang Ratu hanya melihat dia sendirian bersama tumpukan tenunan yang sangat indah; dan tidak terhingga pujian-pujian yang diterimanya dari Ratu. Ketika kamar pertama sudah kosong, mereka mulai menenun di kamar kedua, lalu ke kama ketiga sampai semua rami telah selesai di tenun. Lalu saat ketiga wanita penenun itu akan pergi, mereka berkata pada sang Gadis,
"Jangan lupa dengan apa yang kamu janjikan, dan semuanya akan menjadi lebih baik untuk kamu."
Ketika sang Gadis memperlihatkan pada Ratu ruangan yang telah kosong, dan sejumlah besar tenunan, Ratu langsung mengatur pernikahan gadis itu dengan putranya yang tertua, dan mempelai pria itupun sangat senang karena mendapatkan calon istri yang sangat pandai dan rajin.
"Saya mempunyai tiga orang sepupu," kata Gadis itu, "dan karena mereka sangat baik kepada saya, Saya tidak akan pernah lupa kepada mereka disaat saya mendapatkan keberuntungan; bisakah saya mengundang mereka datang ke pesta, dan meminta mereka duduk satu meja dengan kita?"
Ratu dan putra tertuanya yang akan menjadi calon suami berkata bersamaan,
"Kamu boleh mengundangnya datang, tidak ada alasan bagi kami untuk tidak mengundangnya kesini,"
Ketika perjamuan dimulai, ketiga wanita penenun tersebut datang tanpa menyembunyikan keburukan rupa mereka, dan sang Gadis berkata,
"Sepupuku yang baik, selamat datang."
"Oh," kata mempelai pria, "bagaimana kamu bisa mempunyai sanak keluarga yang sangat buruk rupa?"
Kemudian dia menemui wanita penenun yang pertama dan bertanya kepadanya,
"Bagaimana kamu bisa mempunyai kaki yang begitu lebar dan rata?"
"Saya selalu menapakkan kaki saya pada alat tenun," katanya.
Ketika dia menemui wanita yang kedua dan bertanya,
"Bagaimana kamu bisa mempunyai bibir yang bergantungan sampai ke dagumu?"
"Dengan menjilati benang." katanya,
Dan kemudian dia bertanya kepada wanita yang ketiga,

"Dengan memuntir dan memilin benang," katanya.
Kemudian mempelai pria berkata bahwa semenjak saat itu, sang gadis yang menjadi istrinya ini harus berhenti untuk menenun dan jangan pernah menyentuh alat tenun lagi.
Dan begitulah akhirnya sang gadis lepas dari pekerjaan menenun yang melelahkan.
Si Pelit

Ketika si Pelit menyadari kehilangan hartanya, dia menjadi sangat sedih dan putus asa. Dia mengerang-erang sambil menarik-narik rambutnya.
Satu orang pengembara kebetulan lewat di tempat itu mendengarnya menangis dan bertanya apa saja yang terjadi.
"Emasku! oh.. emasku!" kata si Pelit, "seseorang telah merampok saya!"
"Emasmu! di dalam lubang itu? Mengapa kamu menyimpannya disana? Mengapa emas tersebut tidak kamu simpan di dalam rumah dimana kamu dapat dengan mudah mengambilnya saat kamu ingin membeli sesuatu?"
"Membeli sesuatu?" teriak si Pelit dengan marah. "Saya tidak akan membeli sesuatu dengan emas itu. Saya bahkan tidak pernah berpikir untuk berbelanja sesuatu dengan emas itu." teriaknya lagi dengan marah.
Pengembara itu kemudian mengambil sebuah batu besar dan melemparkannya ke dalam lubang harta karun yang telah kosong itu.
"Kalau begitu," katanya lagi, "tutup dan kuburkan batu itu, nilainya sama dengan hartamu yang telah hilang!"
Harta yang kita miliki sama nilainya dengan kegunaan harta tersebut.
Seorang Raja dan Nelayan

Suatu hari dia duduk bersama Sherem, sang Ratu, di taman istana yang berhadapan langsung dengan tepi sungai Tigris, yang pada saat itu terentang jajaran perahu yang indah; dan dengan pandangan yang penuh selidik pada perahu-perahu yang meluncur, dimana pada satu perahu duduk seorang nelayan yang mempunyai tangkapan ikan yang besar.
Menyadari bahwa sang Raja mengamatinya, dan tahu bahwa sang Raja ini sangat menggemari ikan tertentu, nelayan tersebut memberi hormat pada sang Raja dan dengan ahlinya membawa perahunya ketepian, datang dan berlutut pada sang Raja dan memohon agar sang Raja mau menerima ikan tersebut sebagai hadiah. Sang Raja sangat senang dengan hal ini, dan memerintahkan agar sejumlah besar uang diberikan kepada nelayan tersebut.
Tetapi sebelum nelayan tersebut meninggalkan taman istana, Ratu berputar menghadap sang Raja dan berkata: "Kamu telah melakukan sesuatu yang bodoh." Sang Raja terkejut mendengar Ratu berkata demikian dan bertanya bagaimana bisa. Sang Ratu membalas:
"Berita bahwa kamu memberikan sejumlah besar hadiah untuk hadiah yang begitu kecil akan cepat menyebar ke seluruh kerajaan dan akan dikenal sebagai hadiah nelayan. Semua nelayan yang mungkin berhasil menangkap ikan yang besar akan membawanya ke istana, dan apabila mereka tidak dibayar sebesar nelayan yang pertama, mereka akan pergi dengan rasa tidak puas, dan dengan diam-diam akan berbicara jelek tentang kamu diantara teman-temannya."
"Kamu berkata benar, dan ini membuka mata saya," kata sang Raja, "tetapi tidakkah kamu melihat apa artinya menjadi Raja, apabila untuk alasan tersebut dia menarik kembali hadiah yang telah diberikan?" Kemudian setelah merasa bahwa sang Ratu siap untuk membantah hal itu, dia membalikkan badan dengan marah dan berkata "Hal ini sudah selesai dan tidak usah dibicarakan lagi."
Bagaimanapun juga, dihari berikutnya, ketika pikiran sang Raja sedang senang, Ratu menghampirinya dan berkata bahwa jika dengan alasan itu sang Raja tidak dapat menarik kembali hadiah yang telah diberikan, dia sendiri yang akan mengaturnya. "Kamu harus memanggil nelayan itu kembali," katanya, "dan kemudian tanyakan, 'Apakah ikan ini jantan atau betina?' Jika dia berkata jantan, lalu kamu katankan bahwa yang kamu inginkan adalah ikan betina, tetapi bila nelayan tersebut berkata bahwa ikan tersebut betina, kamu akan membalasnya dengan mengatakan bahwa kamu menginginkan ikan jantan. Dengan cara ini hal tersebut dapat kita sesuaikan dengan baik."
Raja berpendapat bahwa ini adalah jalan yang terbaik untuk keluar dari kesulitan, dan memerintahkan agar nelayan tadi dibawa ke hadapannya. Ketika nelayan tersebut, yang ternyata adalah orang yang sangat pandai, berlutut di hadapan raja, sang Raja berkata kepadanya: "Hai nelayan, katakan padaku, ikan yang kamu bawa kemarin adalah jantan atau betina?"
Nelayan tersebut menjawab, "Ikan tersebut bukan jantan dan bukan betina." Saat itu sang Raja tersenyum mendengar jawaban yang sangat cerdik, dan untuk menambah kejengkelan sang Rau, memerintahkan bendahara istana untuk memberikan sejumlah uang yang lebih banyak kepada nelayan tersebut.

"Lihat! betapa pelitnya dia!" kata Sherem, sang Ratu, dengan bangga atas kemenangannya. "Dia benar-benar menurunkan kantongnya hanya untuk memungut satu buah koin kecil karena mungkin dia akan sangat merasa kehilangan hanya dengan berpikir bahwa koin tersebut akan diambil oleh salah seorang pelayan Raja, atau seseorang yang lebih miskin, yang membutuhkannya untuk membeli sebuah roti dan yang memohon agar raja dikaruniai umur panjang."
"Sekali lagi kamu berbicara benar," balas sang Raja, merasakan kebenaran dari komentar Ratu; dan sekali lagi nelayan tersebut dibawa untuk menghadap ke istana. "Apakah kamu ini manusia atau binatang buas?" Raja bertanya kepadanya. "Walaupun kamu mungkin sudah kaya tanpa harus bekerja keras lagi, tetapi sifat pelit dalam dirimu tidak membiarkan kamu untuk meninggalkan satu koin kecil untuk orang lain." Lalu sang Raja memerintahkan nelayan tersebut untuk pergi dan tidak menampakkan lagi wajahnya di dalam kota kerajaannya.

Jawaban tersebut membuat sang Raja sangat senang tidak terhingga, dan memberikan lagi nelayan terseut sejumlah besar uang. Dan kemarahan Ratu saat itu juga menjadi reda, dan dia menjadi sadar dan melihat dengan ramah terhadap nelayan tersebut yang pergi dengan kantung yang dimuati dengan uang.
Semut dan Belalang

"Apa!" teriak sang Semut dengan terkejut, "tidakkah kamu telah mengumpulkan dan menyiapkan makanan untuk musim dingin yang akan datang ini? Selama ini apa saja yang kamu lakukan sepanjang musim panas?"
"Saya tidak mempunyai waktu untuk mengumpulkan makanan," keluh sang Belalang; "Saya sangat sibuk membuat lagu, dan sebelum saya sadari, musim panas pun telah berlalu."
Semut tersebut kemudian mengangkat bahunya karena merasa gusar.
"Membuat lagu katamu ya?" kata sang Semut, "Baiklah, sekarang setelah lagu tersebut telah kamu selesaikan pada musim panas, sekarang saatnya kamu menari!" Kemudian semut-semut tersebut membalikkan badan dan melanjutkan pekerjaan mereka tanpa memperdulikan sang Belalang lagi.
Ada saatnya untuk bekerja dan ada saatnya untuk bermain.
Rubah dan Buah Anggur

Buah anggur itu tergantung pada dahan yang cukup tinggi, dan sang Rubah harus melompat untuk mencapainya. Saat pertama kali melompat untuk mengambil buah tersebut, sang Rubah tidak dapat mencapainya karena buah itu tergantung cukup tinggi. Kemudian sang Rubah mengambil ancang-ancang dan berlari sambil melompat, tetapi kali ini sang Rubah masih juga tidak dapat mencapai buah anggur tersebut. Sang Rubah mencoba untuk melompat terus, tetapi semua usaha yang dilakukannya sia-sia belaka.
Sekarang dia lalu duduk dan memandang buah anggur itu dengan rasa penasaran.
"Betapa bodohnya saya," katanya. "Disini saya terus mencoba untuk mengambil buah anggur yang kelihatannya tidak enak untuk dimakan."
Kemudian sang Rubah lalu berjalan pergi dengan perasaan yang sangat kesal.
Banyak orang yang berpura-pura mengacuhkan dan memperkecil arti sesuatu yang tidak dapat mereka capai.
Putri yang Sempurna
Dahulu kala, ada seorang pangeran yang menginginkan seorang Putri Raja, tetapi Putri tersebut haruslah sempurna. Dia kemudian melakukan perjalanan mengelilingin dunia hanya untuk mencari putri tersebut, tetapi dia selalu menemukan bahwa ada sesuatu yang tidak sempurna pada setiap Putri Raja yang ditemuinya. Dia menemukan banyak Putri Raja, tapi tak ada yang benar-benar dianggap sempurna oleh Pangeran itu. Dengan putus asa akhirnya dia pulang kembali ke istananya dan merasa sangat sedih karena tidak menemukan apa yang dicarinya.
Suatu malam, terjadi hujan badai yang sangat keras; dimana kilat dan guntur beserta hujan turun dengan deras sekali; malam itu sungguh menakutkan.
Ditengah-tengah badai tiba-tiba seseorang mengetuk pintu istana, dan ayah Pangeran yang menjadi Raja waktu itu, sendiri keluar membuka pintu untuk tamu tersebut.
Seorang Putri yang sangat cantik berdiri di luar pintu, kedinginan dan basah kuyup karena badai pada malam itu. Air mengalir dari rambut dan pakaiannya yang masih basah; mengalir turun ke kaki dan sepatunya. Putri tersebut mengaku bahwa dia adalah Putri yang sempurna.
"Kita akan segera mengetahui apakah yang dikatakan oleh Putri tersebut benar atau tidak," pikir sang Ratu, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Dia masuk ke dalam kamar tidur, mengeluarkan seprei yang mengalas tempat tidur yang akan dipakai oleh sang Putri dan menaruh sebutir kacang polong di atas tempat tidur itu. Kemudian dia mengambil dua puluh kasur dan meletakkannya di atas sebutir kacang tersebut. Malam itu sang Putri tidur di atas ranjang tersebut. Di pagi hari, mereka menanyakan apakah sang Putri tidur nyenyak di malam itu.
"Oh saya sangat susah tidur!" kata sang Putri, "Saya sangat sulit untuk memejamkan mata sepanjang malam! Saya tidak tahu apa yang ada pada ranjang itu, saya merasa berbaring di atas sesuatu yang kasar, dan seluruh tubuh saya pegal-pegal dan memar di pagi ini, sungguh menakutkan!"
Raja dan Ratu langsung tahu bahwa sang Putri ini pastilah putri yang benar-benar sempurna, karena hanya putri yang sempurna dapat merasakan sebutir kacang yang ditempatkan di bawah dua puluh kasur an dilapisi dengan dua puluh selimut. Hanya putri yang benar-benar sempurna mempunyai kulit yang begitu halus.
Pangeran kemudian mengambilnya sebagai istri, dan sekarang dia telah menemukan putri yang selama ini dicarinya.
Suatu malam, terjadi hujan badai yang sangat keras; dimana kilat dan guntur beserta hujan turun dengan deras sekali; malam itu sungguh menakutkan.
Ditengah-tengah badai tiba-tiba seseorang mengetuk pintu istana, dan ayah Pangeran yang menjadi Raja waktu itu, sendiri keluar membuka pintu untuk tamu tersebut.
Seorang Putri yang sangat cantik berdiri di luar pintu, kedinginan dan basah kuyup karena badai pada malam itu. Air mengalir dari rambut dan pakaiannya yang masih basah; mengalir turun ke kaki dan sepatunya. Putri tersebut mengaku bahwa dia adalah Putri yang sempurna.

"Oh saya sangat susah tidur!" kata sang Putri, "Saya sangat sulit untuk memejamkan mata sepanjang malam! Saya tidak tahu apa yang ada pada ranjang itu, saya merasa berbaring di atas sesuatu yang kasar, dan seluruh tubuh saya pegal-pegal dan memar di pagi ini, sungguh menakutkan!"
Raja dan Ratu langsung tahu bahwa sang Putri ini pastilah putri yang benar-benar sempurna, karena hanya putri yang sempurna dapat merasakan sebutir kacang yang ditempatkan di bawah dua puluh kasur an dilapisi dengan dua puluh selimut. Hanya putri yang benar-benar sempurna mempunyai kulit yang begitu halus.
Pangeran kemudian mengambilnya sebagai istri, dan sekarang dia telah menemukan putri yang selama ini dicarinya.
Perempuan tua dan Hantu Jadi-jadian
Dahulu kala ada seorang wanita tua yang sangat-sangat gembira dan selalu penuh dengan sukacita, walaupun hampir tidak memiliki apa-apa, dan dia sudah tua, miskin dan tinggal sendirian. Dia tinggal di sebuah pondok kecil dan menghidupi dirinya dengan membantu tetangganya mengantarkan pesanan, dia hanya mendapatkan sedikit makanan, sedikit sup sebagai upahnya. Dia selalu giat bekerja dan selalu terlihat.
Disuatu sore, di musim panas, ketika dia berjalan pulang ke rumahnya, dengan penuh senyuman seperti biasanya, dia menemukan sebuah pot hitam yang besar tergeletak di tanah!
"Oh Tuhan!" katanya, "Pot ini akan menjadi tempat yang bagus untuk menyimpan sesuatu apabila saya mempunyai apa-apa yang dapat disimpan disana! Sayangnya saya tidak memiliki apa-apa! Siapa yang telah meletakkan pot ini disini?"
Kemudian dia melihat ke sekeliling berharap bahwa pemiliknya tidak jauh dari sana, tapi dia tidak melihat siapapun disana.
"Mungkin pot ini memiliki lubang," katanya lagi,"dan karena itulah pot ini dibuang. Tapi pot ini akan sangat bagus bila saya meletakkan setangkai bunga dan menaruhnya di jendela rumahku, saya akan membawanya pulang."
Dan ketika dia mengangkat tutupnya dan melihat ke dalam. "Ya ampun!" teriaknya dengan terkagum-kagum. "Penuh dengan emas. Betapa beruntungnya saya!"
Di dalam pot tersebut dilihatnya tumpukan koin emas yang berkilap. Saat itu dia begitu terpana dan tidak bergerak sama sekali, kemudian akhirnya dia berkata
"Saya merasa sangat kaya sekarang, benar-benar kaya raya!"
Setelah dia mengucapkan kata-kata ini beberapa kali, dia mulai berpikir bagaimana dia dapat membawa harta karun itu kerumahnya. Pot berisi emas itu begitu berat untuk dibawa, dan dia tidak menemukan cara yang baik selain mengikat pot itu pada ujung selendangnya dan menariknya sampai ke rumah.
"Sebentar lagi hari akan menjadi gelap," katanya sendiri dan mulai berjalan. "Ah.. sekarang lebih baik! karena tetanggaku tidak akan melihat apa yang saya bawa pulang ke rumah, dan saya bisa sendirian saja sepanjang malam, memikirkan apa yang saya akan lakukan dengan emas ini! mungkin saya akan membeli rumah yang besar dan duduk-duduk di perapiannya sambil menikmati secangkir teh dan tidak bekerja lagi seperti seorang Ratu. Atau mungkin saya akan mengubur emas ini di taman dan meyimpan sedikit emas ini di teko tua ku, atau mungkin .. wah.. wah.. saya merasa tidak mengenal diri saya sekarang."
Sekarang dia merasa lelah karena menarik pot yang berat itu, berhenti sejenak untuk beristirahat, dan berbalik melihat ke hartanya.
Dan dilihatnya pot itu tidak berisi emas, tapi hanya tumpukan koin perak di dalamnya.
Dia menatap pot itu dan menggosok matanya, dan menatap kembali.
"Saya berpikir bahwa pot tadi berisi emas! Saya mungkin bermimpi. Tapi ini adalah keberuntungan! Perak lebih tidak menyusahkan, gampang di pakai, dan tidak mudah dicuri. Koin emas mungkin membawa kematian untuk saya, dan dengan setumpuk koin perak ini..."
kemudian dia berjalan lagi sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya, dan merasa seperti orang kaya, hingga akhirnya dia keletihan lagi dan berhenti beristirahat dan menengok kembali apakah hartanya masih aman; dan saat itu dia tidak melihat perak, melainkan setumpuk besi!
"Saya menyangka pot itu berisi perak! saya pasti bermimpi, Tapi ini adalah keberuntungan! sungguh menyenangkan. Saya dapat menjual dan mendapatkan satu penny untuk satu besi tua ini, dan satu penny lebih gampang di bawa dan di atur dibandingkan emas dan perak. Mengapa! karena saya tidak harus tidur dengan gelisah karena takut di rampok. Tapi satu penny betul-betul dapat berguna dan saya seharusnya menjual besi-besi itu dan menjadi kaya, benar-benar kaya."
kemudian dia berjalan lagi sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya dengan uang penny nya nanti, hingga sekali lagi dia berhenti beristirahat dan menengok kembali apakah hartanya masih aman; dan kali ini dia tidak melihat apa-apa selain batu-batu besar dalam pot itu.
"Saya menyangka pot itu berisi bersi! saya pasti bermimpi, Tapi ini adalah keberuntungan! karena saya sudah lama menginginkan batu besar untuk menahan agar pintu pagar saya tetap terbuka. Sungguh hal yang baik memiliki keberuntungan."
Dia menjadi sangat ingin melihat bagaimana batu itu nanti bisa menahan pintu pagarnya agar selalu terbuka, dia akhirnya berjalan terus hingga tiba di pondoknya. Dia membuka pintu pagarnya, berbalik untuk melepaskan selendangnya dari batu besar yang tergeletak di belakangnya. Tetapi apa yang dilihatnya bukanlah batu besar, melainkan serpihan-serpihan batu.
Sekarang dia membungkuk dan melepaskan ujung selendangnya, dan - "Oh!" Tiba-tiba dia terlonjak kaget, sebuah jeritan, dan mahkluk yang sebesar tumpukan jerami, dengan empat kaki yang panjang dan dua telinga yang panjang, memiliki ekor panjang, menendang-nendang ke udara sambil memekik dan tertawa seperti anak yang nakal!
Wanita tua itu memandangnya sampai makhluk itu menghilang dari pandangan, kemudian akhirnya perempuan itu tertawa juga.
"Baiklah!" katanya sambil tertawa, "Saya beruntung! Cukup beruntung. Sungguh senang bisa melihat hantu jadi-jadian dengan mata kepala sendiri, dan bebas darinya juga! Ya Tuhan, saya merasa sangat bahagia!"
Kemudian dia masuk ke pondoknya dan tertawa sepanjang malam membayangkan kejadian tadi dan merasa betapa beruntungnya dia hari ini.
Disuatu sore, di musim panas, ketika dia berjalan pulang ke rumahnya, dengan penuh senyuman seperti biasanya, dia menemukan sebuah pot hitam yang besar tergeletak di tanah!
"Oh Tuhan!" katanya, "Pot ini akan menjadi tempat yang bagus untuk menyimpan sesuatu apabila saya mempunyai apa-apa yang dapat disimpan disana! Sayangnya saya tidak memiliki apa-apa! Siapa yang telah meletakkan pot ini disini?"
Kemudian dia melihat ke sekeliling berharap bahwa pemiliknya tidak jauh dari sana, tapi dia tidak melihat siapapun disana.
"Mungkin pot ini memiliki lubang," katanya lagi,"dan karena itulah pot ini dibuang. Tapi pot ini akan sangat bagus bila saya meletakkan setangkai bunga dan menaruhnya di jendela rumahku, saya akan membawanya pulang."
Dan ketika dia mengangkat tutupnya dan melihat ke dalam. "Ya ampun!" teriaknya dengan terkagum-kagum. "Penuh dengan emas. Betapa beruntungnya saya!"
Di dalam pot tersebut dilihatnya tumpukan koin emas yang berkilap. Saat itu dia begitu terpana dan tidak bergerak sama sekali, kemudian akhirnya dia berkata
"Saya merasa sangat kaya sekarang, benar-benar kaya raya!"
Setelah dia mengucapkan kata-kata ini beberapa kali, dia mulai berpikir bagaimana dia dapat membawa harta karun itu kerumahnya. Pot berisi emas itu begitu berat untuk dibawa, dan dia tidak menemukan cara yang baik selain mengikat pot itu pada ujung selendangnya dan menariknya sampai ke rumah.
"Sebentar lagi hari akan menjadi gelap," katanya sendiri dan mulai berjalan. "Ah.. sekarang lebih baik! karena tetanggaku tidak akan melihat apa yang saya bawa pulang ke rumah, dan saya bisa sendirian saja sepanjang malam, memikirkan apa yang saya akan lakukan dengan emas ini! mungkin saya akan membeli rumah yang besar dan duduk-duduk di perapiannya sambil menikmati secangkir teh dan tidak bekerja lagi seperti seorang Ratu. Atau mungkin saya akan mengubur emas ini di taman dan meyimpan sedikit emas ini di teko tua ku, atau mungkin .. wah.. wah.. saya merasa tidak mengenal diri saya sekarang."
Sekarang dia merasa lelah karena menarik pot yang berat itu, berhenti sejenak untuk beristirahat, dan berbalik melihat ke hartanya.
Dan dilihatnya pot itu tidak berisi emas, tapi hanya tumpukan koin perak di dalamnya.
Dia menatap pot itu dan menggosok matanya, dan menatap kembali.
"Saya berpikir bahwa pot tadi berisi emas! Saya mungkin bermimpi. Tapi ini adalah keberuntungan! Perak lebih tidak menyusahkan, gampang di pakai, dan tidak mudah dicuri. Koin emas mungkin membawa kematian untuk saya, dan dengan setumpuk koin perak ini..."
kemudian dia berjalan lagi sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya, dan merasa seperti orang kaya, hingga akhirnya dia keletihan lagi dan berhenti beristirahat dan menengok kembali apakah hartanya masih aman; dan saat itu dia tidak melihat perak, melainkan setumpuk besi!
"Saya menyangka pot itu berisi perak! saya pasti bermimpi, Tapi ini adalah keberuntungan! sungguh menyenangkan. Saya dapat menjual dan mendapatkan satu penny untuk satu besi tua ini, dan satu penny lebih gampang di bawa dan di atur dibandingkan emas dan perak. Mengapa! karena saya tidak harus tidur dengan gelisah karena takut di rampok. Tapi satu penny betul-betul dapat berguna dan saya seharusnya menjual besi-besi itu dan menjadi kaya, benar-benar kaya."
kemudian dia berjalan lagi sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya dengan uang penny nya nanti, hingga sekali lagi dia berhenti beristirahat dan menengok kembali apakah hartanya masih aman; dan kali ini dia tidak melihat apa-apa selain batu-batu besar dalam pot itu.
"Saya menyangka pot itu berisi bersi! saya pasti bermimpi, Tapi ini adalah keberuntungan! karena saya sudah lama menginginkan batu besar untuk menahan agar pintu pagar saya tetap terbuka. Sungguh hal yang baik memiliki keberuntungan."

Sekarang dia membungkuk dan melepaskan ujung selendangnya, dan - "Oh!" Tiba-tiba dia terlonjak kaget, sebuah jeritan, dan mahkluk yang sebesar tumpukan jerami, dengan empat kaki yang panjang dan dua telinga yang panjang, memiliki ekor panjang, menendang-nendang ke udara sambil memekik dan tertawa seperti anak yang nakal!
Wanita tua itu memandangnya sampai makhluk itu menghilang dari pandangan, kemudian akhirnya perempuan itu tertawa juga.
"Baiklah!" katanya sambil tertawa, "Saya beruntung! Cukup beruntung. Sungguh senang bisa melihat hantu jadi-jadian dengan mata kepala sendiri, dan bebas darinya juga! Ya Tuhan, saya merasa sangat bahagia!"
Kemudian dia masuk ke pondoknya dan tertawa sepanjang malam membayangkan kejadian tadi dan merasa betapa beruntungnya dia hari ini.
Penyihir Tua
pada jaman dahulu kala, hiduplah dua orang anak gadis yang tinggal bersama ayah dan ibunya. Ayah mereka tidak mempunyai pekerjaan, dan gadis-gadis tersebut ingin keluar dan mencari pekerjaan agar dapat menghidupi orangtua mereka. Satu orang gadis itu ingin bekerja menjadi pelayan, dan ibunya berkata bahwa dia mungkin bisa bekerja apabila dia menemukan tempat untuk bekerja di kota. Akhirnya anak gadis tersebut berjalan ke kota untuk mulai mencari tempat pekerjaan, tetapi di kota tersebut, tidak ada yang ingin mempekerjakan gadis seperti dia. Gadis kecil itu kemudian berjalan lebih jauh sampai tiba di pedesaan, dan dia datang ke tempat dimana disana ditemukan banyak sekali tungku pemanggang dan roti. Lalu roti tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, bawalah kami keluar. Kami telah memanggang selama tujuh tahun, dan tidak ada orang yang pernah membawa kami keluar." Gadis tersebut lalu membawa keluar roti tersebut, membaringkannya di tanah dan segera berjalan pergi kembali.
Kemudian dia bertemu dengan seekor sapi, dan sapi tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, perahlah susuku, perahlah susuku! Tujuh tahun saya telah menunggu dan tidak ada orang yang pernah datang untuk memerahku." Gadis tersebut kemudian memerah susu sapi tersebut ke ember yang ada didekatnya. Karena kehausan, dia meminum sedikit susu tersebut dan membiarkan sisanya tetap di dalam ember.
Kemudian gadis tersebut berjalan lebih jauh dan bertemu dengan sebuah pohon apel, yang penuh dengan buah apel sehingga dahan-dahannya kelihatan banyak yang patah, lalu pohon apel tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, tolong guncangkan buahku, dahan dan cabangku sudah patah karena terlalu berat." Lalu gadis itu berkata, "Tentu saja saya akan membantumu, kamu terlihat sangat kasihan." Lalu dia mengguncangkan dahan pohon apel tersebut sehingga buahnya lepas dari dahan pohon dan terjatuh ke tanah, lalu membiarkan buah apel tersebut tergeletak di tanah.
Kemudian dia berjalan dan berjalan lagi hingga dia tiba di sebuah rumah. Rumah tersebut di huni oleh seorang penyihir tua, dan penyihir ini berkeinginan untuk membawa gadis tersebut ke rumahnya untuk dijadikan pelayan. Saat dia mendengar bahwa gadis tersebut memang meninggalkan rumah untuk mencari pekerjaan, dia berkata akan mencobanya dan memberikan upah yang pantas. Penyihir tua tersebut menyebutkan pekerjaan yang harus dilakukan. "Kamu harus tetap memelihara agar rumah ini bersih dan rapih, menyapu lantai dan perapian; tetapi ada satu hal yang jangan pernah kamu lakukan. Kamu jangan pernah melihat ke atas cerobong asap rumah ini, karena sesuatu yang buruk akan menimpa kamu nantinya."
Gadis tersebut berjanji akan melakukan segala apa yang diperintahkan, tetapi pada suatu pagi saat dia sedang membersihkan, dan wanita penyihir itu keluar rumah, dia menjadi lupa pada apa yang dikatakan oleh penyihir tua dan melihat ke atas cerobong asap. Saat itu sebuah bungkusan yang berisikan uang jatuh kepangkuannya. Hal ini terus berulang setiap kali gadis tersebut menengok ke atas cerobong asap. Gadis tersebut begitu senangnya, dia mengambil kantong-kantong uang tersebut dan segera pulang kerumahnya.
Saat dia berjalan pulang ke rumahnya, dia mendengar kedatangan penyihir tua yang datang mengejarnya. Gadis tersebut kemudian berlari ke pohon apel dan berkata:
"Pohon apel, pohon apel, sembunyikan saya,
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan memungut tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Pohon apel tersebut kemudian menyembunyikan si gadis. Ketika penyihir tua datang dan berkata:
"Pohon milikku, pohon milikku,
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Kemudian pohon apel itu berkata, "Tidak, ibunda, saya tidak pernah melihatnya selama tujuh tahun."
Ketika penyihir tua itu pergi dan berjalan ke arah lain, gadis itu melanjutkan perjalannya dan tepat saat dia bertemu dengan sapi yang tadi diperahnya, dia kembali mendengar penyihir itu datang mengejarnya kembali, sehingga dia lari ke sapi tersebut dan berkata:
"Sapi, sapi, sembunyikan saya,
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan memungut tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Sapi tersebut kemudian menyembunyikan sang gadis.
Ketika penyihir tua itu tiba, dia mencari-cari dan bertanya kepada sapi tersebut:
"Sapi milikku, sapi milikku,
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Kemudian sapi itu berkata, "Tidak, ibunda, saya tidak pernah melihatnya selama tujuh tahun."
Ketika penyihir itu telah pergi ke arah lain, gadis kecil tersebut melanjutkan perjalannya, dan ketika dia berada dekat dimana dia bertemu dengan tungku panggangan, dia kembali mendengar penyihir tua itu datang mengejarnya, sehingga dia lari ke tungku pangganan dan berkata:
"Tungku panggangan, tungku panggangan, sembunyikan saya,
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan memungut tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Tungku panggangan berkata, "Saya tidak punya ruangan kosong, tanyakan pada pembuat roti," dan kemudian pembuat roti menyembunyikan gadis kecil itu di belakang tungku.
Ketika penyihir tua itu tiba dan melihat kesana-kemari, dia bertanya kepada pembuat roti:
"Pembuat roti milikku, pembuat roti milikku,
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Pembuat roti itu berkata, "Lihat di dalam tungku" Penyihir itu masuk untuk melihatnya, dan tungku panggangan itu berkata, "Masuklah dan lihat ke sudut yang paling dalam." Penyihir tua itu melakukannya, dan ketika dia telah ada dalam tungku, tungku tersebut menutup pintunya, hingga penyihir itu tertahan disana dalam waktu yang lama.
Gadis itu kemudian pulang ke rumahnya dengan kantongan yang penuh dengan uang, akhirnya menikah dengan orang yang sangat kaya dan hidup bahagia setelahnya.
Saudara dari gadis tersebut berpikir bahwa dia akan pergi dan melakukan hal yang sama dengan gadis yang pertama tadi. Dia kemudian melakukan perjalanan yang sama. Tetapi ketika dia bertemu dengan tungku panggangan, dan saat roti berkata "Gadis kecil, gadis kecil, bawalah kami keluar. Kami telah memanggang selama tujuh tahun, dan tidak ada orang yang pernah membawa kami keluar." Gadis tersebut lalu berkata, "Tidak, saya tidak ingin jari-jari saya terbakar."
Kemudian dia berjalan dan bertemu dengan seekor sapi, dan sapi tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, perahlah susuku, perahlah susuku! Tujuh tahun saya telah menunggu dan tidak ada orang yang pernah datang untuk memerahku." Tetapi gadis itu berkata, "Tidak, saya tidak sempat memerah susumu, saya sedang terburu-buru," dan pergi secepatnya. Kemudian gadis tersebut berjalan lebih jauh dan bertemu dengan sebuah pohon apel yang meminta bantuan agar gadis tersebut membantu dia mengguncangkan buah-buahnya. "Saya tidak bisa, mungkin di hari lain." Lalu dia berjalan sampai ke rumah penyihir tua itu. Kejadian yang sama dengan gadis pertama dialami oleh gadis tersebut, dia juga melupakan apa yang dikatakan oleh penyihir tua dan saat penyihir tua itu keluar rumah, dia melihat ke atas cerobong asap, dan kantong-kantong berisi uangpun berjatuhan. Dia langsung berpikir bahwa dia dapat pergi dan lepas dari rumah itu, dan ketika dia mencapai pohon apel, dia mendengar penyihir tersebut datang mengejarnya, dia lalu berkata kepada pohon apel:
"Pohon apel, pohon apel, sembunyikan saya,
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan mematahkan tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Tetapi pohon apel tersebut hanya diam dan akhirnya gadis tersebut melanjutkan larinya. Ketika penyihir tua datang dan berkata:
"Pohon milikku, pohon milikku,
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Pohon apel tersebut berkata, "Ya, ibunda, dia pergi ke arah sana."
Akhirnya penyihir tua itu menemukan dan menangkap gadis tersebut, mengambil kembali uang yang telah diambil, memukulnya dan mengirimkannya pulang ke orangtuanya.
Kemudian dia bertemu dengan seekor sapi, dan sapi tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, perahlah susuku, perahlah susuku! Tujuh tahun saya telah menunggu dan tidak ada orang yang pernah datang untuk memerahku." Gadis tersebut kemudian memerah susu sapi tersebut ke ember yang ada didekatnya. Karena kehausan, dia meminum sedikit susu tersebut dan membiarkan sisanya tetap di dalam ember.
Kemudian gadis tersebut berjalan lebih jauh dan bertemu dengan sebuah pohon apel, yang penuh dengan buah apel sehingga dahan-dahannya kelihatan banyak yang patah, lalu pohon apel tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, tolong guncangkan buahku, dahan dan cabangku sudah patah karena terlalu berat." Lalu gadis itu berkata, "Tentu saja saya akan membantumu, kamu terlihat sangat kasihan." Lalu dia mengguncangkan dahan pohon apel tersebut sehingga buahnya lepas dari dahan pohon dan terjatuh ke tanah, lalu membiarkan buah apel tersebut tergeletak di tanah.
Kemudian dia berjalan dan berjalan lagi hingga dia tiba di sebuah rumah. Rumah tersebut di huni oleh seorang penyihir tua, dan penyihir ini berkeinginan untuk membawa gadis tersebut ke rumahnya untuk dijadikan pelayan. Saat dia mendengar bahwa gadis tersebut memang meninggalkan rumah untuk mencari pekerjaan, dia berkata akan mencobanya dan memberikan upah yang pantas. Penyihir tua tersebut menyebutkan pekerjaan yang harus dilakukan. "Kamu harus tetap memelihara agar rumah ini bersih dan rapih, menyapu lantai dan perapian; tetapi ada satu hal yang jangan pernah kamu lakukan. Kamu jangan pernah melihat ke atas cerobong asap rumah ini, karena sesuatu yang buruk akan menimpa kamu nantinya."
Gadis tersebut berjanji akan melakukan segala apa yang diperintahkan, tetapi pada suatu pagi saat dia sedang membersihkan, dan wanita penyihir itu keluar rumah, dia menjadi lupa pada apa yang dikatakan oleh penyihir tua dan melihat ke atas cerobong asap. Saat itu sebuah bungkusan yang berisikan uang jatuh kepangkuannya. Hal ini terus berulang setiap kali gadis tersebut menengok ke atas cerobong asap. Gadis tersebut begitu senangnya, dia mengambil kantong-kantong uang tersebut dan segera pulang kerumahnya.
Saat dia berjalan pulang ke rumahnya, dia mendengar kedatangan penyihir tua yang datang mengejarnya. Gadis tersebut kemudian berlari ke pohon apel dan berkata:

Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan memungut tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Pohon apel tersebut kemudian menyembunyikan si gadis. Ketika penyihir tua datang dan berkata:
"Pohon milikku, pohon milikku,
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Kemudian pohon apel itu berkata, "Tidak, ibunda, saya tidak pernah melihatnya selama tujuh tahun."
Ketika penyihir tua itu pergi dan berjalan ke arah lain, gadis itu melanjutkan perjalannya dan tepat saat dia bertemu dengan sapi yang tadi diperahnya, dia kembali mendengar penyihir itu datang mengejarnya kembali, sehingga dia lari ke sapi tersebut dan berkata:
"Sapi, sapi, sembunyikan saya,
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan memungut tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Sapi tersebut kemudian menyembunyikan sang gadis.
Ketika penyihir tua itu tiba, dia mencari-cari dan bertanya kepada sapi tersebut:
"Sapi milikku, sapi milikku,
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Kemudian sapi itu berkata, "Tidak, ibunda, saya tidak pernah melihatnya selama tujuh tahun."
Ketika penyihir itu telah pergi ke arah lain, gadis kecil tersebut melanjutkan perjalannya, dan ketika dia berada dekat dimana dia bertemu dengan tungku panggangan, dia kembali mendengar penyihir tua itu datang mengejarnya, sehingga dia lari ke tungku pangganan dan berkata:
"Tungku panggangan, tungku panggangan, sembunyikan saya,
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan memungut tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Tungku panggangan berkata, "Saya tidak punya ruangan kosong, tanyakan pada pembuat roti," dan kemudian pembuat roti menyembunyikan gadis kecil itu di belakang tungku.
Ketika penyihir tua itu tiba dan melihat kesana-kemari, dia bertanya kepada pembuat roti:
"Pembuat roti milikku, pembuat roti milikku,
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Pembuat roti itu berkata, "Lihat di dalam tungku" Penyihir itu masuk untuk melihatnya, dan tungku panggangan itu berkata, "Masuklah dan lihat ke sudut yang paling dalam." Penyihir tua itu melakukannya, dan ketika dia telah ada dalam tungku, tungku tersebut menutup pintunya, hingga penyihir itu tertahan disana dalam waktu yang lama.
Gadis itu kemudian pulang ke rumahnya dengan kantongan yang penuh dengan uang, akhirnya menikah dengan orang yang sangat kaya dan hidup bahagia setelahnya.
Saudara dari gadis tersebut berpikir bahwa dia akan pergi dan melakukan hal yang sama dengan gadis yang pertama tadi. Dia kemudian melakukan perjalanan yang sama. Tetapi ketika dia bertemu dengan tungku panggangan, dan saat roti berkata "Gadis kecil, gadis kecil, bawalah kami keluar. Kami telah memanggang selama tujuh tahun, dan tidak ada orang yang pernah membawa kami keluar." Gadis tersebut lalu berkata, "Tidak, saya tidak ingin jari-jari saya terbakar."
Kemudian dia berjalan dan bertemu dengan seekor sapi, dan sapi tersebut berkata, "Gadis kecil, gadis kecil, perahlah susuku, perahlah susuku! Tujuh tahun saya telah menunggu dan tidak ada orang yang pernah datang untuk memerahku." Tetapi gadis itu berkata, "Tidak, saya tidak sempat memerah susumu, saya sedang terburu-buru," dan pergi secepatnya. Kemudian gadis tersebut berjalan lebih jauh dan bertemu dengan sebuah pohon apel yang meminta bantuan agar gadis tersebut membantu dia mengguncangkan buah-buahnya. "Saya tidak bisa, mungkin di hari lain." Lalu dia berjalan sampai ke rumah penyihir tua itu. Kejadian yang sama dengan gadis pertama dialami oleh gadis tersebut, dia juga melupakan apa yang dikatakan oleh penyihir tua dan saat penyihir tua itu keluar rumah, dia melihat ke atas cerobong asap, dan kantong-kantong berisi uangpun berjatuhan. Dia langsung berpikir bahwa dia dapat pergi dan lepas dari rumah itu, dan ketika dia mencapai pohon apel, dia mendengar penyihir tersebut datang mengejarnya, dia lalu berkata kepada pohon apel:
"Pohon apel, pohon apel, sembunyikan saya,
Sehingga penyihir tua tidak menemukan saya;
Jika dia menemukan saya, dia akan mematahkan tulangku,
Dan menguburku di bawah batu yang dingin."
Tetapi pohon apel tersebut hanya diam dan akhirnya gadis tersebut melanjutkan larinya. Ketika penyihir tua datang dan berkata:
"Pohon milikku, pohon milikku,
Apakah kamu melihat seorang gadis,
Dengan membawa banyak bungkusan,
Yang mengambil semua uang milikku?"
Pohon apel tersebut berkata, "Ya, ibunda, dia pergi ke arah sana."
Akhirnya penyihir tua itu menemukan dan menangkap gadis tersebut, mengambil kembali uang yang telah diambil, memukulnya dan mengirimkannya pulang ke orangtuanya.
Langganan:
Postingan (Atom)